Masyarakat korban karhutla disarankan gugat perusahaan dan pemerintah

Pemerintah dalam menangani kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih abai terhadap pemenuhan hak-hak masyarakat yang menjadi korban.

Masyarakat beraktivitas di tengah kabut asap akibat kebakaran hutanb dan lahan. Antara Foto

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya, menilai pemerintah dalam menangani kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih abai terhadap pemenuhan hak-hak masyarakat yang menjadi korban. Menurutnya, pemerintah tampak terlalu fokus pada soal pemadaman dan penegakan hukum semata. 

“Karhutla mungkin padam di sejumlah daerah karena diguyur hujan deras. Tapi masalahnya belum berakhir, ada dampak lanjutan yang dialami masyarakat yang menjadi korban, salah satunya masalah kesehatan, yang terparah adalah berkontribusi besar menyebabkan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut)," kata Teguh dalam sebuah diskusi di Jakarta Selatan, Selasa (19/11).

Parahnya, kata dia, asap karhutla sangat rawan bagi kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, perempuan hamil dan janin yang dikandungnya. Teguh mencatat, sedikitnya 45 kabupaten atau kota di Indonesia mengalami karhutla, di mana 1.253 lahan di antaranya adalah konsesi milik perusahaan yang terbakar selama 2019. 

Karena itu, dia berpendapat, seharusnya perusahaan yang lahan konsesinya terbakar atau senagaja dibakar harus dimintai pertanggungjawabannya. Terlebih, tak sedikit anak-anak dan bayi yang mengalami masalah gangguan kesehatan.

Teguh menyarankan kepada masyarakat yang menjadi korban karhutla untuk mengajukan gugatan citizen law suit atau class action. Dalam gugatan itu, masyarakat korban asap karhutla bisa menuntut karena secara umum pemerintah dan perusahaan abai melaksanakan tanggung jawabnya sesuai amanat UUD 1945.
 
Sebagaimana Pasal 28H UUD RI 1945, disebutkan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.