Merebut ruang diskursus perempuan

500 perempuan dan kelompok minoritas di Jakarta menyambut momentum hari perempuan sedunia tanggal 8 Maret, dengan menghelat aksi damai.

Salah satu peserta Women's March 2018 di Jakarta. (Purnama Ayu/ Alinea)

Imah, perempuan paruh baya dari Kebon Jeruk, rela bangun pagi dan menyambangi kawasan Hotel Sari Pan Pacific, Thamrin, Jakarta Pusat. Hari itu, Sabtu (3/3) ia bersama beberapa kawannya sengaja datang membawa sejumlah atribut. Tanpa pulasan kosmetik, mengenakan sandal jepit, dan rambut digulung seadanya, ia berada di garda depan bersama 500 orang yang sejak pukul 06.30 sudah menyemut di sana. “Lawan penindasan pada perempuan!” teriaknya lantang.

Sebuah poster berisi tuntutan penghapusan diskriminasi perempuan tergantung di dadanya. Sembari menyerukan pesan kesetaraan, ia terus berjalan menuju titik akhir aksi di Taman Aspirasi Monumen Nasional. “Saya sengaja ikut aksi buat mengajari anak-anak muda, bahwa perjuangan itu tak mengenal usia,” tandasnya.

Ini adalah kali kedua ia mengikuti aksi peringatan Hari Perempuan Sedunia. Tahun lalu ia mengikuti acara ini dengan seruan pesan yang sama. Baginya, perjuangan menuntut kesetaraan masih jauh panggang dari api. Oleh karena itu, baginya turun ke jalan menyuarakan pesan kesetaraan menjadi relevan untuk dilakukan. Apalagi di tengah gaduhnya diskursus lain di tahun politik ini, perlawanan terhadap penindasan perempuan harus mendapat tempat.

Bukan hanya Imah yang hadir dalam aksi Women’s March yang bertajuk ‘Lawan Bersama Kekerasan Berbasis Gender’ ini. Sejumlah aktivis perempuan dari berbagai organisasi seperti Hollaback, Migrant Care, Koalisi Perempuan Indonesia, Komnas Perempuan, dan komunitas LGBT IQ juga meramaikan pawai damai. Bahkan aksi juga dipadati artis dan politisi pemerhati isu-isu perempuan, seperti Hannah Al Rashid, Melanie Subono, penyanyi Lala Karmela, Wanda Hamidah, Arie Kriting, dan putri Gus Dur pemain sitkom OK Jek, Inayah Wulandari. Tak hanya itu, perwakilan buruh, pekerja rumah tangga, penyintas kekerasan, dan pekerja seks juga turut dalam aksi menyambut Hari Perempuan Sedunia 8 Maret tersebut.

Setidaknya ada delapan tuntutan yang diserukan dalam selebrasi ini. Pertama, menuntut penghapusan kebijakan yang diskriminatif, yang melanggengkan kekerasan terhadap perempuan, anak, masyarakat adat, kelompok penghayat kepercayaan, kelompok difabel, kelompok dengan ragam orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender, serta karakteristik seks. Tuntutan pertama juga mencakup penghapusan ketentuan mengenai perkawinan anak dalam UU Nomor 1 Tahun 1970 tentang Perkawinan, kriminalisasi dalam bab kesusilaan RKUHP, serta turunannya dalam wujud perda diskriminatif.