sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Merebut ruang diskursus perempuan

500 perempuan dan kelompok minoritas di Jakarta menyambut momentum hari perempuan sedunia tanggal 8 Maret, dengan menghelat aksi damai.

Purnama Ayu Rizky
Purnama Ayu Rizky Senin, 05 Mar 2018 13:30 WIB
Merebut ruang diskursus perempuan

Imah, perempuan paruh baya dari Kebon Jeruk, rela bangun pagi dan menyambangi kawasan Hotel Sari Pan Pacific, Thamrin, Jakarta Pusat. Hari itu, Sabtu (3/3) ia bersama beberapa kawannya sengaja datang membawa sejumlah atribut. Tanpa pulasan kosmetik, mengenakan sandal jepit, dan rambut digulung seadanya, ia berada di garda depan bersama 500 orang yang sejak pukul 06.30 sudah menyemut di sana. “Lawan penindasan pada perempuan!” teriaknya lantang.

Sebuah poster berisi tuntutan penghapusan diskriminasi perempuan tergantung di dadanya. Sembari menyerukan pesan kesetaraan, ia terus berjalan menuju titik akhir aksi di Taman Aspirasi Monumen Nasional. “Saya sengaja ikut aksi buat mengajari anak-anak muda, bahwa perjuangan itu tak mengenal usia,” tandasnya.

Ini adalah kali kedua ia mengikuti aksi peringatan Hari Perempuan Sedunia. Tahun lalu ia mengikuti acara ini dengan seruan pesan yang sama. Baginya, perjuangan menuntut kesetaraan masih jauh panggang dari api. Oleh karena itu, baginya turun ke jalan menyuarakan pesan kesetaraan menjadi relevan untuk dilakukan. Apalagi di tengah gaduhnya diskursus lain di tahun politik ini, perlawanan terhadap penindasan perempuan harus mendapat tempat.

Bukan hanya Imah yang hadir dalam aksi Women’s March yang bertajuk ‘Lawan Bersama Kekerasan Berbasis Gender’ ini. Sejumlah aktivis perempuan dari berbagai organisasi seperti Hollaback, Migrant Care, Koalisi Perempuan Indonesia, Komnas Perempuan, dan komunitas LGBT IQ juga meramaikan pawai damai. Bahkan aksi juga dipadati artis dan politisi pemerhati isu-isu perempuan, seperti Hannah Al Rashid, Melanie Subono, penyanyi Lala Karmela, Wanda Hamidah, Arie Kriting, dan putri Gus Dur pemain sitkom OK Jek, Inayah Wulandari. Tak hanya itu, perwakilan buruh, pekerja rumah tangga, penyintas kekerasan, dan pekerja seks juga turut dalam aksi menyambut Hari Perempuan Sedunia 8 Maret tersebut.

Setidaknya ada delapan tuntutan yang diserukan dalam selebrasi ini. Pertama, menuntut penghapusan kebijakan yang diskriminatif, yang melanggengkan kekerasan terhadap perempuan, anak, masyarakat adat, kelompok penghayat kepercayaan, kelompok difabel, kelompok dengan ragam orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender, serta karakteristik seks. Tuntutan pertama juga mencakup penghapusan ketentuan mengenai perkawinan anak dalam UU Nomor 1 Tahun 1970 tentang Perkawinan, kriminalisasi dalam bab kesusilaan RKUHP, serta turunannya dalam wujud perda diskriminatif.

Wakil Ketua Women’s March 2018, Naila Rizqi Zakiah mengungkapkan, tuntutan ini jadi prioritas karena rentan memperlebar potensi kriminalisasi. “RKUHP tidak hanya soal kriminalisasi dan persekusi, namun ada sejumlah persoalan lain yang menggelayuti. Semua bermuara pada peningkatan kekerasan terhadap perempuan,” ujarnya.

Tuntutan kedua, mengesahkan berbagai hukum dan kebijakan, termasuk di antaranya mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Tuntutan ini lahir lantaran kooptasi dalam dinamika pembahasan RUU di Komisi 8 DPR, oleh pihak-pihak yang menginginkan hubungan seksual di luar perkawinan dikategorikan sebagai kekerasan seksual.

Hal itu bertentangan dengan semangat yang digaungkan para perempuan. Artis Hannah Al Rashid menuturkan, negara tak perlu repot mengurus hal yang semestinya didudukkan dalam urusan privat. Alih-alih mengurus cara berpakaian orang, moral warga dalam urusan seksual, Hannah berpendapat, negara seyogyanya memfokuskan diri menghentikan kekerasan seksual. “Perempuan justru diatur cara berpakaian, sudah jadi korban kekerasan dan pelecehan pun kadang masih disalahkan,” keluhnya.

Sponsored

Tuntutan ketiga, menjamin dan menyediakan akses keadilan dan pemulihan bagi korban kekerasan. Caranya adalah dengan mendorong penegakan Peraturan MA Nomor 03 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, menyediakan layanan visum gratis, serta layanan psikososial bagi korban kekerasan berbasis gender.

Berikutnya poin keempat, menghentikan intervensi negara terhadap tubuh dan seksualitas warga negara, termasuk salah satunya terkait sunat perempuan. Menurut Naila, negara harus mengambil sikap tegas terhadap segala upaya intervensi tersebut.

Tuntutan kelima, menghapus dan menghentikan stigma dan diskriminasi berbasis gender, seksualitas dan status kesehatan, salah satunya tentang kesehatan orang dengan HIV/AIDS. Seruan tersebut juga mencakup jaminan pemenuhan hak atas kesehatan seksual dan reproduksi serta kesehatan jiwa yang adil dan setara. Tuntutan ini sendiri menyeruak setelah munculnya ujaran kebencian dan hoaks mengenai kelompok marjinal, yang berimbas pada suburnya stigma negatif.

Keenam, menghapus praktik dan budaya kekerasan berbasis gender di lingkungan hukum, kesehatan, lingkungan hidup, pendidikan, dan pekerjaan melalui program pendidikan dan pencegahan kekerasan berbasis gender.

Menurut catatan Naila, praktik kekerasan berbasis gender berdiaspora di wilayah lingkungan hidup. Ia menyoroti kekerasan yang menimpa sejumlah petani di Kendeng akibat pembangunan industri semen. Pun praktik industri lain di areal pertambangan emas. “Kekerasan pada perempuan tidak melulu ihwal persekusi, kekerasan, perkosaan, namun juga perusakan lingkungan yang berimbas pada perempuan juga,” tuturnya.

Ketujuh, menggandeng masyarakat untuk tak melakukan praktik kekerasan. Bagi alumni Hukum Universitas Jember tersebut, masyarakat perlu berperan aktif menghapus praktik dan budaya kekerasan berbasis gender. Jika semua gerakan masyarakat berfungsi, maka upaya mendorong pemerintah bisa mengalami akselerasi,” ujarnya.

Aksi kekerasan pada perempuan sendiri menurut Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin tumbuh bak cendawan musim hujan. Pada 2017, setidaknya 173 perempuan terbunuh karena tindak kekerasan seksual yang rerata dilakukan orang-orang terdekat. “Biasanya perempuan mengalami penganiayaan, penyiksaan, mutilasi, dan langgam kekerasan lain,” ujarnya.

Ingatan publik pun masih lekat dengan pembunuhan yang dilakukan pada Adelina, buruh migran perempuan asal NTT belum lama ini. Ia dibunuh dengan sadis setelah sebelumnya dibiarkan tidur di beranda bersama anjing peliharaan selama sebulan.

Adapun tuntutan terakhir, merampungkan akar kekerasan berbasis gender yakni pemiskinan perempuan. Isu ini dekat dengan para perempuan yang bergerak di industri, pekerja migran, perempuan pemakai narkotika, dan pekerja seks komersial.

Khusus untuk perempuan dalam pusaran kasus narkotika, dalam hemat Naila, ini kerap luput dibahas dalam forum perempuan. Padahal persoalan ini berkelindan dengan isu perdagangan manusia dan buruh migran yang dieksploitasi sedemikian rupa.

Delapan tuntutan yang disuarakan dalam ruang publik menurut pegiat Arus Pelangi, Yuli Rustinawati harus dilihat sebagai persoalan penting. Tak sekadar menjadi selebrasi semata, momentum penyambutan Women’s March tahun ini juga dijadikan ajang merebut ruang diskursus bagi perempuan dan kelompok minoritas seperti LGBT IQ yang terus mengalami persekusi secara sistematis.

Menurutnya, acara ini bukan hanya mengangkat persoalan kolektif, namun usaha bersama untuk mengukuhkan perlindungan perempuan dan kelompok minoritas. “Mendukung gerakan ini sama dengan mengamini perlindungan terhadap ibu, saudara perempuan, anak perempuan, dan sahabat perempuan kita,” pungkasnya.

Berita Lainnya
×
tekid