Misi muskil menyediakan air bersih di ibu kota baru

Persoalan air bersih harus segera diatasi pemerintah sebelum pemindahan ibu kota negara direalisasikan.

Ilustrasi ancaman krisis air di ibu kota baru. Alinea.id/Oky Diaz

Kabar mengenai rencana pemindahan ibu kota ke wilayah administratif Penajam Paser Utara (PPU) dan Kutai Kartanegara (Kukar) bikin Kasmari gundah. Pria yang sudah 15 tahun tinggal di Desa Bukit Raya, Kecamatan Sepaku, PPU itu justru khawatir desanya bakal tambah kesulitan air bersih jika ibu kota jadi pindah. 

"Warga di sini kadang sampai harus membeli air dan memanggil mobil tangki air kalau musim kemarau," kata Kasmari saat berbincang dengan Alinea.id, Sabtu (12/6) lalu. 

Dalam laporan bertajuk "Ibu Kota Baru Buat Siapa?" yang digarap Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pada 2019, IKN dilaporkan didesain dalam bentuk tiga ring di area seluas 180.965 hektare. 

Pada ring pertama seluas 5.644 hektare, pusat pemerintahan bakal dibangun. Lahan di Kecamatan Sepaku, PPU dan Kecamatan Samboja, Kukar diproyeksikan sebagai lokasi inti. Pada ring kedua, pemerintah mengalokasikan seluas 42.000 hektare untuk kawasan utama IKN. Sisanya direncanakan menjadi kawasan perluasan IKN.

Menurut Kasmari, air bersih sudah lama menjadi barang langka di Kecamatan Sepaku. Pada kondisi normal saja, air dari sumur bor milik warga terkadang tidak menyembul. Saat kemarau tiba, air tanah bahkan kerap tidak keluar sama sekali. 
 
"Airnya sangat kecil. Apalagi, banyak yang enggak punya sumur bor. Kondisi ini yang sekarang jadi pikiran saya kalau ibu kota pindah," kata pria berusia 70 tahun itu.