Pasal 207 KUHP disebut pasal karet

Rasyid: Pasal tersebut bisa dimanfaatkan oleh penguasa dalam membungkam pengkritiknya.

Petugas kepolisian membubarkan warga yang berkumpul di pinggir jalan di Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Sabtu (28/3) malam. Foto Antara/Oky Lukmansyah/pras.

Pasal 207 KUHP terkait penghinaan kepada penguasa merupakan aturan karet. Hal itu, disampaikan pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Muhammad Rasyid Ridha Saragih.

Menurut dia, dari segi rumusan Pasal 207 KUHP tidak memiliki batasan yang jelas terkait ukuran penghinaan. Bahkan, dalam banyak kasus beleid itu digunakan untuk menyasar pengkritik penguasa.

"Misalnya, dalam banyak kasus pasal ini ditujukan ke orang-orang yang mengkritik presiden. Jadi, orang yang mengkritik dalam rangka bagian partisipasi publik justru dibungkam pakai pasal ini," ujar Rasyid kepada Alinea.id, Jakarta, Senin (6/4).

Ini dikemukakan, terkait Surat Telegram Kapolri Nomor: ST/1100/IV/Huk.7.1/2020 tanggal 4 April 2020. Surat itu dikeluarkan berkenaan dengan penegakan hukum di ranah siber yang salah satunya penghinaan kepada penguasa, seperti presiden dan pejabat pemerintah dengan dasar Pasal 207 KUHP.

Pasal 207 KUHP berbunyi: barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.