Imparsial: Pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah timbulkan trauma psikis

Penyelenggaraan pendidikan di sekolah negeri harus mengedepankan prinsip demokratis, berkeadilan serta tidak diskriminatif

Ilustrasi seragam sekolah menengah atas. Alinea.id/Bagus Priyo

Pemaksaan pemakaian jilbab kembali terjadi kepada siswi di SMAN 1 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Lembaga Imparsial menilai, pemaksaan penggunaan jilbab di satuan-satuan pendidikan yang dikelola pemerintah merupakan bentuk diskriminasi dan melanggar hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan yang dijamin oleh undang-undang.

"Satuan pendidikan seharusnya menghormati keragaman agama atau keyakinan peserta didik. Sebaliknya, sekolah harus mempromosikan kesadaran untuk saling menghormati perbedaan dan keragaman agama atau keyakinan, serta mengambil langkah-langkah yang efektif untuk menghilangkan kebijakan dan praktik diskriminatif," demikian keterangan tertulis Imparsial, dikutip Kamis (11/8).

Kejadian bermula dari tiga guru SMAN 1 Banguntapan, yang diduga melakukan pemaksaan terhadap salah satu siswi untuk mengenakan jilbab.

Dugaan pelanggaran tersebut ditegaskan oleh Kemendikbudristek, yang kemudian melakukan investigasi dan berkoordinasi dengan Ombudsman DIY. Dari penelusuran tersebut, ditemukan adanya unsur pemaksaan penggunaan jilbab kepada siswi SMAN 1 Banguntapan.

Menurut Imparsial, tindakan pemaksaan tersebut tidak hanya berdampak pada kehidupan sosial korban, tetapi juga menimbulkan trauma secara psikis. Padahal, persoalan seragam sekolah telah diatur dalam Pasal 3 ayat (4) huruf d Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.