sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Imparsial: Pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah timbulkan trauma psikis

Penyelenggaraan pendidikan di sekolah negeri harus mengedepankan prinsip demokratis, berkeadilan serta tidak diskriminatif

Gempita Surya
Gempita Surya Kamis, 11 Agst 2022 09:44 WIB
Imparsial: Pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah timbulkan trauma psikis

Pemaksaan pemakaian jilbab kembali terjadi kepada siswi di SMAN 1 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Lembaga Imparsial menilai, pemaksaan penggunaan jilbab di satuan-satuan pendidikan yang dikelola pemerintah merupakan bentuk diskriminasi dan melanggar hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan yang dijamin oleh undang-undang.

"Satuan pendidikan seharusnya menghormati keragaman agama atau keyakinan peserta didik. Sebaliknya, sekolah harus mempromosikan kesadaran untuk saling menghormati perbedaan dan keragaman agama atau keyakinan, serta mengambil langkah-langkah yang efektif untuk menghilangkan kebijakan dan praktik diskriminatif," demikian keterangan tertulis Imparsial, dikutip Kamis (11/8).

Kejadian bermula dari tiga guru SMAN 1 Banguntapan, yang diduga melakukan pemaksaan terhadap salah satu siswi untuk mengenakan jilbab.

Dugaan pelanggaran tersebut ditegaskan oleh Kemendikbudristek, yang kemudian melakukan investigasi dan berkoordinasi dengan Ombudsman DIY. Dari penelusuran tersebut, ditemukan adanya unsur pemaksaan penggunaan jilbab kepada siswi SMAN 1 Banguntapan.

Menurut Imparsial, tindakan pemaksaan tersebut tidak hanya berdampak pada kehidupan sosial korban, tetapi juga menimbulkan trauma secara psikis. Padahal, persoalan seragam sekolah telah diatur dalam Pasal 3 ayat (4) huruf d Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

Selain itu, penyelenggaraan pendidikan di sekolah negeri diamanatkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Klausul tersebut menyatakan penyelenggaraan pendidikan di sekolah negeri harus mengedepankan prinsip demokratis, berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

"Aturan ini seharusnya menjadi acuan oleh satuan-satuan pendidikan dalam menyusun peraturan tentang seragam sekolah, sehingga menjamin hal-hal prinsipil, seperti hak untuk beragama dan mendapat pendidikan. Persoalan mengenai penggunaan simbol dan atribut keagamaan merupakan bagian dari hak beragama atau berkeyakinan, di mana negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhinya," tulis Imparsial.

Imparsial mengapresiasi respons dan tindakan tegas Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan menonaktifkan kepala sekolah dan tiga guru yang terlibat dalam kasus tersebut. Namun, Imparsial menilai, proses pengusutan lebih lanjut perlu dilakukan secara transparan dan akuntabel dengan menerapkan prinsip non-diskriminasi dan keberpihakan kepada korban. 

Sponsored

Selain itu, pemerintah perlu menyusun langkah-langkah yang lebih komprehensif dan sistemik untuk menghindari kejadian berulang. Sehingga, persoalan diskriminasi dan intoleransi di lingkungan pendidikan dapat dihapus.

"Kasus ini seyogianya dapat menjadi momentum untuk menjadikan sekolah sebagai zona pendidikan toleransi," terang Imparsial.

Lebih lanjut, Imparsial menilai, isu terkait seragam sekolah dengan atribut agama tertentu yang dipaksakan kepada peserta didik perlu disikapi secara serius. Terlebih, hal ini tidak hanya terjadi di satu daerah saja, namun juga pernah terjadi DKI Jakarta, Padang, Depok, Riau, Bali, Maumere, Nias, dan lain-lain.

Catatan Imparsial menemukan, setidaknya ada tujuh kasus yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu empat tahun ke belakang. Namun, kasus-kasus pemaksaan penggunaan dan/atau larangan penggunaan seragam sekolah yang berkaitan dengan atribut keagamaan tersebut menjadi fenomena gunung es.

Pemerintah pernah membentuk SKB 3 Menteri pada Februari 2021 yang mengatur soal seragam dan atribut di sekolah negeri. Akan tetapi, SKB tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) pada Mei 2021.

"Dengan kata lain, SKB tersebut 
hanya berlaku efektif selama tiga bulan. Pembatalan tersebut menunjukkan negara masih belum sensitif terhadap keberagaman yang ada di masyarakat," papar mereka.

Berita Lainnya
×
tekid