Pencabutan RUU PKS dari prolegnas terus menuai kecaman

RUU PKS dinilai merupakan upaya hukum untuk memberikan pemulihan dan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual.

Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (GEMAS Sahkan RUU P-KS ) melakukan aksi saat Hari Bebas Berkendaraan di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (28/7/2019). Foto Antara

Koalisi Gerakan Perempuan Anti-Kekerasan (Gerak Perempuan) mengecam pencabutan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.

Pasalnya, RUU PKS dinilai merupakan upaya hukum untuk memberikan pemulihan dan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. RUU PKS juga untuk memastikan korban tidak mendapatkan kekerasan berulang karena stigma dan sistem hukum yang tak berpihak pada korban.

“Kami meyakini DPR telah bersikap sewenang-wenang terhadap proses demokrasi dan pemenuhan hak setiap warga negara Indonesia terutama korban kekerasan seksual atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil (UUD 1945 pasal 28). Kami menyayangkan nihilnya transparansi dari DPR sejak proses pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual hingga keputusan pencabutannya dari Prolegnas Prioritas 2020 diusulkan oleh Komisi VIII yang membidangi urusan perempuan dan sosial pada tanggal 30 Juni 2020,” ujar perwakilan Gerak Perempuan Nur Aini dalam keterangan tertulis, Senin (6/7).

Gerak Perempuan menuntut DPR segera menarik keputusan pencabutan RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020. Gerak Perempuan meminta DPR tidak menggunakan pandemi sebagai alasan menihilkan data yang membuktikan urgensi dari RUU PKS.

Berdasarkan Catatan Akhir Tahun (Catahu) Komnas Perempuan, terdapat 4.898 laporan kasus kekerasan seksual pada 2019. Catahu Komnas Perempuan merekam kenaikan kasus kekerasan seksual hingga 792% atau hampir 8 kali lipat sejak 2007.