Pergeseran pelaku pelanggaran agraria dari zaman SBY ke Jokowi

Tak ada perubahan signifikan terkait penyelesaian pelanggaran agraria meski pemerintahan telah berganti.

Petani beraktivitas di lahan pertanian di Bogor, Jawa Barat, Jumat (4/1/2019). Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyatakan tiap tahun area pertanian diprediksi terus berkurang, diperkirakan tahun 2019 lahan pertanian di Indonesia bisa berkurang sampai 1,4 juta hektare. ANTARA FOTO

Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkapkan ada pola pergeseran pelaku pelanggaran agraria dari zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

Perwakilan KontraS, Rivanlee Anandar, tak ada perubahan terkait penyelesaian pelanggaran agraria meski pemerintahan telah berganti. KontraS mengkritisi berbagai persoalan di sektor agraria selama pemerintahan Jokowi. Sebab, selama 4 tahun pemerintahan Jokowi pelanggaran di sektor Sumber Daya Alam (SDA) belum banyak terselesaikan.

“Ada pola perubahan, di zaman SBY pelakunya adalah pihak-pihak dari aparat pemerintah. Kalau di pemerintahan Jokowi saat ini, pelaku paling banyak adalah pihak swasta,” kata Rivanlee di Jakarta pada Rabu (20/2).
 
Berdasarkan data yang dimiliki KontraS, sebanyak 233,60% pelaku pelanggaran hak atas tanah merupakan pihak swasta. Kemudian 54,14% pelakunya adalah polisi, 42,11%  TNI, 14,4% warga, 42,10% pemerintah, dan 3,1% ormas.
 
Hal serupa juga dikatakan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati Romica. Menurutnya, kebijakan pemerintahan Jokowi di sektor kelautan saat ini hanya fokus pada bidang infrastruktur. Namun demikian, program-program tersebut tidak memperhatikan budaya dan pemberdayaan di sekelilingnya.
 
“Terlihat dari penyebutannya maritim. Tapi, itu hanya seputar infrastruktur dan ekonomi saja. Berbeda dengan bahari, di mana ada budaya dan pelestarian yang juga harus diperhatikan,” kata Susan.

Lebih lanjut, kata Susan, hal itu semakin diperkuat dengan kerja-kerja Jokowi di bidang maritim yang membangun tol laut dan sejumlah pelabuhan. Padahal, dari pembangunan tersebut, ada hal lain yang sebetulnya terlewatkan .
 
Menurutnya, beberapa pekerjaan yang telah dilakukan Jokowi di bidang maritim pun belum signifikan membantu problematika yang terjadi di lapangan. Bahkan, berdasarkan data yang dimiliki Kiara, menunjukkan banyak aktivis yang justru malah dikriminalisasi.

Dari catatan Kiara, ada peningkatan jumlah konflik dan kriminalisasi selama 3 tahun terakhir. Aparat yang menlakukan kriminalisasi terhadap warga atau aktivis setempat kerap menggunakan pasal-pasal karet untuk melakukan pembungkaman.
 
“Ada 84 konflik kelautan dan perikanan yang disebabkan oleh arah kebijakan pengelolaan ruang laut di pesisir dan pulau-pulau kecil, serta 17 nelayan yang dikriminalisasi dan satu di antaranya meninggal dunia,” kata Susan.