Perokok anak di tengah polemik cukai tinggi vs diskon harga

Diskon rokok bertentangan dengan upaya pemerintah menekan angka prevalensi perokok anak.

Diskon rokok kontradiktif dengan kebijakan menekan jumlah perokok anak-anak. Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan

Sembari berlari kecil, Aan mendatangi kawan sebayanya di sudut gang yang tak jauh dari rumahnya di kawasan Percetakan Negara, Salemba, Jakarta Pusat, Sabtu (3/5). Saat tiba, Aan langsung mengeluarkan bungkusan rokok dari saku celananya.

Tak lama, kepulan asap putih keluar dari mulutnya. "Saya semenjak keluar sekolah mulai merokok," kata Aan saat berbicang dengan Alinea.id. 

Aan mengaku berhenti sekolah sejak di kelas 1 SMP. Ia memilih berhenti karena tak lulus ujian kenaikan kelas dua saat masih bersekolah di salah satu SMP negeri di Jakarta Pusat, dua tahun silam. 

Meski diminta orangtuanya untuk pindah sekolah, Aan menolak. Dia beralasan, otaknya sudah tak mampu lagi dipakai belajar. "Buang-buang duit, toh nanti juga saya bisa kerja, dapat duit," imbuh dia. 

Semenjak putus sekolah, Aan bergabung dengan kawan-kawannya mencari duit dengan memainkan ondel-ondel di jalanan. Hasil ngamen itu mereka kumpulkan untuk beli pulsa dan rokok. "Orangtua masih melarang meski mereka tahu saya sudah merokok" ujar Aan.