Polri butuh reformasi kultural

Dalam menyelidiki dan menyidik kasus, masih banyak aparat kepolisian yang melanggar hukum dan hak asasi manusia.

Polisi anti huru-hara membubarkan diri seusai mengamankan aksi massa yang mengawal sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2019 di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Jum'at (14/6). /Antara Foto

Di usianya yang menginjak 73 tahun, Polri butuh banyak berbenah. Sebagaimana pada era Orde Baru, menurut Kepala Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nelson Simamora, kepolisian masih kerap melanggar aturan dan hak asasi manusia (HAM) saat menyelidiki dan menyidik kasus.  Karena itu, Polri butuh reformasi budaya secara menyeluruh.

"Kami melihat penyiksaan itu opsi paling diminati oleh polisi. Mereka menyiksa dulu tersangka atau terdakwa untuk mengaku. Ini sama dengan di Eropa zaman kegelapan 1700-an," ujar Nelson dalam diskusi di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di kawasan Menteng, Jakarta, Senin (1/7). 

Nelson berkaca pada data yang dikumpulkan YLBHI dari 15 lembaga bantuan hukum (LBH) di berbagai wilayah pada periode 2016-2019. Menurut catatan YLBHI, ada 115 kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam penyelidikan dan penyidikan. 

Dari 115 kasus itu, mayoritas (49 kasus) ialah penyiksaan terhadap calon tersangka, diikuti kemudian oleh kasus perlakuan tidak manusiawi (32 kasus), dan penundaan perkara tanpa kejelasan (28 kasus). Selain itu, YLBHI juga menemukan kasus-kasus kriminalisasi, salah tangkap, minimnya akuntabilitas, dan pembatasan hak hukum. 

Dari rentetan kasus tersebut, menurut Nelson, terlihat bahwa masih banyak oknum Polri melanggar aturan hukum dan melabrak HAM demi menuntaskan kasus yang mereka tangani. Itu mengindikasikan upaya-upaya reformasi di tubuh Polri mangkrak.