sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Polri butuh reformasi kultural

Dalam menyelidiki dan menyidik kasus, masih banyak aparat kepolisian yang melanggar hukum dan hak asasi manusia.

Fadli Mubarok
Fadli Mubarok Senin, 01 Jul 2019 19:50 WIB
Polri butuh reformasi kultural

Di usianya yang menginjak 73 tahun, Polri butuh banyak berbenah. Sebagaimana pada era Orde Baru, menurut Kepala Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nelson Simamora, kepolisian masih kerap melanggar aturan dan hak asasi manusia (HAM) saat menyelidiki dan menyidik kasus.  Karena itu, Polri butuh reformasi budaya secara menyeluruh.

"Kami melihat penyiksaan itu opsi paling diminati oleh polisi. Mereka menyiksa dulu tersangka atau terdakwa untuk mengaku. Ini sama dengan di Eropa zaman kegelapan 1700-an," ujar Nelson dalam diskusi di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di kawasan Menteng, Jakarta, Senin (1/7). 

Nelson berkaca pada data yang dikumpulkan YLBHI dari 15 lembaga bantuan hukum (LBH) di berbagai wilayah pada periode 2016-2019. Menurut catatan YLBHI, ada 115 kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam penyelidikan dan penyidikan. 

Dari 115 kasus itu, mayoritas (49 kasus) ialah penyiksaan terhadap calon tersangka, diikuti kemudian oleh kasus perlakuan tidak manusiawi (32 kasus), dan penundaan perkara tanpa kejelasan (28 kasus). Selain itu, YLBHI juga menemukan kasus-kasus kriminalisasi, salah tangkap, minimnya akuntabilitas, dan pembatasan hak hukum. 

Dari rentetan kasus tersebut, menurut Nelson, terlihat bahwa masih banyak oknum Polri melanggar aturan hukum dan melabrak HAM demi menuntaskan kasus yang mereka tangani. Itu mengindikasikan upaya-upaya reformasi di tubuh Polri mangkrak. 

"Pemerintah hendaknya melakukan reformasi substantif dalam tubuh Polri. Reformasi yang dilakukan janganlah hanya reformasi di level UU, melainkan level kultur," kata dia. 

Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Era Purnamasari mengatakan, kasus-kasus penyiksaan terhadap calon tersangka tidak terkonsentrasi di satu daerah. Menurut catatan YLBHI, penyiksaan terhadap calon tersangka terjadi Aceh, Palembang, Padang, Lampung, Jakarta, dan Surabaya. 

"Tercatat 49 kasus penyiksaan yang didampingi oleh LBH-YLBHI dengan korban sebanyak 55 orang. Sebanyak 16 orang di antaranya meninggal dunia," jelas dia. 

Sponsored

Jika ditinjau dari persebarannya, menurut Era, kekerasan dan penyiksaan biasanya terjadi di level kepolisian tingkat terendah, yakni kepolisian sektor (polsek), polres, dan polda. 

"Meskipun Mabes Polri tidak secara langsung sebagai pelaku. Karena dari data-data yang masuk di LBH-YLBHI sebagian besar penyiksaan itu terjadi pada kasus-kasus masyarakat miskin, kasus-kasus kecil. Dan, kita tahu Mabes Polri tidak banyak bersentuhan dengan kasus-kasus ini," kata dia.

Buka data Propam

Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur mengatakan, reformasi di tubuh Polri bisa dimulai dengan 'membongkar' data Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri. Menurut dia, data pelanggaran yang dikumpulkan Propam dapat dijadikan rujukan guna melihat kelemahan-kelemahan kepolisian selama ini.  

Selain itu, catatan-catatan pelanggaran juga bisa dipantau dari beberapa lembaga seperti Komnas HAM dan Ombudsman RI. Menurut Isnur, laporan dua lembaga tersebut telah menerangkan bahwa kesalahan yang paling banyak ada pada konteks reserse dan pendidikan.

"Dari tahun ke tahun tidak berubah. Nah, penting bagian reserse ini dievaluasi secara maksimum atau optimal oleh Kapolri, bagaimana caranya butuh dukungan bersama," kata dia. 

Upaya reformasi di tubuh Polri juga harus didorong oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden Jokowi selaku atasan Kapolri. Menurut Isnur, keduanya bisa memperkuat pengawasan terhadap institusi Polri dan memastikan penegakan hukum yang dilakukan kepolisian tidak melabrak HAM. 

"Kita ini kan rindu penyidikan reserse yang baik, humanis, dan mengarah kepada cita-cita hukum yang baik. Jangan sampai penanganan hukum mengarah pada chaos. Kalau begitu, ke depan orang-orang akan tidak percaya kepada hukum dan berpotensi main hakim sendiri," terangnya. 

 

Berita Lainnya
×
tekid