PSHK: Tak ada pasal dalam Permendikbudristek secara tertulis legalkan zina

Menurut PSHK, sesat pikir bila negasi dari rumusan aturan tersebut dimaknai sebagai membenarkan perzinaan sepanjang ada persetujuan.

Aktivis perempuan membawa poster pada aksi unjuk rasa memperingati hari perempuan sedunia pada 2019 di Banda Aceh Aceh/Antara Foto.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek 30/2021), untuk melidungi segenap sivitas akademika di lingkungan kampus dari ancaman tindakan kekerasan seksual.

"Misalnya, Pasal 3 menyebutkan prinsip-prinisp yang progresif, seperti kepentingan terbaik bagi korban, keadilan dan kesetaraan gender, dan ada pula kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Selain itu, Permendikbudristek ini juga dapat langsung diimplementasikan oleh perguruan tinggi karena sudah mencantumkan ketentuan dalam bidang pencegahan, penanganan, pelindungan, serta sanksi administratif," bunyi keterangan tertulis PSHK, Sabtu (13/11/2021).

PSHK menjelaskan, perihal pasal yang mengundang penolakan terhadap Permendikbudristek ini, yakni Pasal 5 ayat (2) huruf l dan m yang mencantumkan syarat “consent” atau “persetujuan korban”. 

Syarat tersebut, urainya, adalah unsur yang memang digunakan dalam konstruksi tindakan kekerasan. Itu kembali ditegaskan dengan sangat jelas dalam Pasal 5 ayat (3) yang menyebutkan bahwa unsur-unsur “persetujuan korban” mencakup “tidak dalam tekanan, sadar, dan tidak rentan”.

"Dalam hukum, adanya aspek persetujuan ini berkaitan dengan kecakapan dan kedewasaan peserta didik. Oleh hukum, seorang dewasa bisa menilai akibat hukum dari tiap-tiap pilihan perbuatan hukumnya. Akan tetapi, pengakuan atas otonomi itu tidak berarti mengesampingkan berlakunya nilai-nilai lain yang juga hidup di masyarakat, seperti moralitas, kesusilaan, adat setempat, serta agama," jelas PSHK.