close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Istock.
icon caption
Ilustrasi. Istock.
Peristiwa
Selasa, 17 Juni 2025 13:09

Supaya pelajar tak terus-menerus jadi korban predator seksual

Kasus kekerasan seksual terhadap pelajar kembali menyeruak. Puluhan anak jadi korban.
swipe

Kasus kekerasan seksual terhadap anak masih terus marak. Terbaru, sebanyak 13 perempuan mengaku mengalami kekerasan seksual selama mondok di sebuah pesantren di Pulau Kangean, Sumenep, Jawa Timur. Pelaku diduga pemilik sekaligus pengurus pesantren itu yang berinisial MS. 

Kuasa hukum para korban, Salamet Riadi mengatakan para korban mengalami kekerasan seksual saat menjadi santri di pesantren sekitar 2016-2024. Rata-rata para korban mengalami kekerasan lebih dari satu kali. 

Di Sukoharjo, Jawa Tengah, peristiwa serupa juga terungkap di sebuah sekolah dasar (SD) pada April lalu. DI, 37 tahun, guru sekaligus kepala sekolah yang ditangkap polisi atas kasus kekerasan seksual terhadap 20 siswanya. 

DI sudah jadi kepala sekolah di SD itu sejak 2019. Menurut penyelidikan kepolisian, DI melakukan pencabulan terhadap siswa SD dari angkatan pertama hingga angkatan kelima. Salah satu korban tak bersekolah di SD itu. 

Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani, Sani Budiantini mengatakan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap pelajar yang terungkap saat ini ibarat fenomena puncak gunung es. Ia menyebut hanya sebagian kasus yang terdeteksi dan dilaporkan. 

"Banyak kasus di desa atau kampung yang tidak terdeteksi karena korban atau keluarganya malu untuk melapor," kata Sani kepada Alinea.id di Jakarta, Senin (16/6) lalu. 

Dari laporan dari berbagai mitra di daerah, Komnas Perempuan mencatat ada 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang 2024. Naik 43.527 kasus jika dibandingkan tahun sebelumnya. Mayoritas korban ialah pelajar dan mahasiswa, yakni sebanyak 14.094 orang. 

Sani menyoroti pentingnya pendidikan seksual sejak dini diberikan kepada anak. Edukasi bisa dimulai dari hal yang paling sederhana, seperti menjaga kebersihan tubuh hingga mengenali bagian tubuh pribadi yang tidak boleh disentuh orang lain.

"Pendidikan seksual bukan hal tabu. Anak-anak perlu diajarkan tentang area tubuh yang harus dilindungi. Siapa pun tidak boleh menyentuhnya dan mereka harus tahu cara menolak atau melapor jika mengalami hal yang tidak nyaman," tegasnya.

Menurut Sani, komunikasi asertif perlu dilatih sejak kecil agar anak tidak takut untuk berkata “tidak” atau menyampaikan penolakan. Ia juga mendorong agar sekolah menjadi ruang aman yang dipercaya anak-anak untuk melapor. 

“Banyak sekolah justru menutupi kasus karena takut aib. Padahal, sekolah seharusnya menjadi pelindung, bukan tempat yang menyalahkan korban,” kata dia. 

Psikolog anak dan keluarga, Jehan Safitri berpendapat media sosial turut menjadi salah satu faktor yang mendorong meningkatnya kekerasan seksual terhadap pelajar.  Keterbukaan informasi di era digital membuat anak-anak lebih rentan terpapar konten-konten yang mendorong perilaku menyimpang.

"Media sosial bisa menjadi pemicu, bahkan ketika seseorang awalnya tidak memiliki niat. Informasi yang beredar dapat menstimulasi dan membuat kekerasan seksual terasa biasa karena sering diperbincangkan,” ujar Jehan kepada Alinea.id. 

Jehan sepakat pentingnya edukasi seksual yang dimulai sedini mungkin. Tidak hanya di sekolah, menurut Jehan, orang tua juga bertanggung jawab memberikan edukasi seksual kepada anak-anak mereka di lingkungan keluarga. 

"Fondasi utama harus dibangun di rumah. Psikoedukasi seperti seminar singkat mengenai batasan dan perilaku yang boleh atau tidak boleh dilakukan perlu dilakukan secara rutin," jelasnya.

Namun, Jehan juga menyoroti tantangan kolaborasi yang kerap muncul. Menurutnya, kolaborasi akan sulit terwujud bila salah satu pihak—baik orang tua, sekolah, atau pemerintah—memilih menutup-nutupi kasus demi menjaga reputasi. 

"Banyak korban justru diancam atau dibungkam ketika mencoba menyuarakan keadilan, bahkan ada sekolah atau instansi yang takut kasusnya mencoreng citra mereka," ujar dia. 

Supaya kasus kekerasan seksual terhadap pelajar tidak terus terjadi, Jehan mendorong agar pihak sekolah dan orang tua bersinergi untuk saling mengawasi. Para siswa juga perlu dilibatkan untuk aktif mengawasi perilaku yang menyimpang di sekolah, baik yang ditunjukkan oleh guru atau rekan mereka sendiri. 

"Untuk bisa memastikan situasi lingkungan sekolah yang aman dan nyaman untuk anak-anaknya bisa menimba ilmu untuk mendapat pendidikan secara optimal," ujar Jehan. 

 

img
Adityia Ramadhani
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan