Pukat UGM tawarkan 2 opsi selamatkan pemberantasan korupsi

Berlakunya UU 19/2019 dianggap mengancam agenda pemberantasan rasuah.

Ilustrasi. Pixabay

Berlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap dapat mengancam agenda pemberantasan rasuah.

Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zainal Arifin Mochtar, menilai, perlu strategi baru dalam agenda pemberantasan korupsi. Dicontohkannya dengan usul pengamat politik William Liddle via Harian Kompas, 19 Oktober 2019.

"Fakta tulisan William itu sangat menarik untuk katakan, di tengah itu, ya, sudah kita harus memilih cara untuk tidak lagi mengandalkan KPK. Begitu juga tidak lagi andalkan Presiden Jokowi," ujar Zainal dalam diskusi "Mencermati Penegakan Etik Pejabat Publik" yang disiarkan melalui akun Facebook ICW, Rabu (8/7).

Kendati demikian, Zainal berpendapat, terdapat dua cara baru dalam memberantas korupsi di Indonesia. Pertama, mendorong lembaga lain berperan menegakkan etik. Ini diperlukan mengingat sistem penegakan etik Dewan Pengawas (Dewas) KPK dalam regulasi hasil revisi tidak jelas.

"Ini bukan persoalan orangnya, ini persoalan sistem. Saya tidak lagi menganggap Dewas bisa bekerja, maka lembaga di luar ini bisa mendorong. Saya bayangkan bahwa laporan pelanggaran etik mungkin terpaksa harus kita bawa ke komite lain. KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara), misalnya. Dalam artian pelanggaran etik yang dilakukan oleh aparatur negara. Apakah KPK aparatur negara? Itu perdebatan sendiri," tuturnya.