Bahaya 'sumbu pendek' aparat di balik layar konflik Papua

Aparat keamanan yang bertugas di Papua rentan terkena stres dan depresi.

Ilustrasi prajurit militer di area konflik. Alinea.id/Firgie Saputra

Di ujung sambungan telepon, Anto--bukan nama sebenarnya--terdengar terkekeh saat ditanyai komentarnya mengenai kabar bentrok terbaru antara personel TNI dan Polri yang terjadi di Papua. Menurut Anto, cek-cok yang berujung adu jotos bukan hal langka bagi kalangan personel militer yang bertugas di wilayah konflik. 

"Jangankan sama orang luar, terkadang sama rekan-rekan di TNI sendiri juga kita sering ribut tuh. Ha-ha-ha. Itu mah biasa sih. Cuma kan enggak sampe ada korban. Ya, paling hanya adu mulut aja sampe berbusa," kata Anto saat dihubungi Alinea.id, Kamis (16/12) lalu. 

Tak mau identitasnya diungkap, Anto menyebut ia kini "ngantor" di Jakarta. Namun demikian, ia pernah punya pengalaman bertugas di Sorong, Papua selama berbulan-bulan usai lulus sekolah calon Tamtama pada awal 2010. Jika bisa memilih, ia mengaku tak ingin kembali ditugaskan di sana.

"Memang Papua itu panas banget sih. Istilahnya, ya, senggol bacok gitu. Orang-orangnya banyak yang keras juga kan. Belum lagi antara kita (militer) dan rekan-rekan Polri juga kadang-kadang sering banget ribut karena hal-hal kecillah. Padahal, sama-sama tugas jaga di sana," kata Anto. 

Akhir November lalu, sejumlah personel Satgas Nanggala Kopassus TNI ribut dengan personel Satgas Amole Polri yang tengah berjualan rokok di Pos RCTU Ridge Camp Mile 72, Tembagapura, Mimika, Papua. Penyebab keributan ternyata sepele. Anggota Satgas Nanggala menganggap personel Satgas Amole Polri menjual rokok dengan harga kemahalan.