sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Bahaya 'sumbu pendek' aparat di balik layar konflik Papua

Aparat keamanan yang bertugas di Papua rentan terkena stres dan depresi.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Minggu, 19 Des 2021 13:49 WIB
Bahaya 'sumbu pendek' aparat di balik layar konflik Papua

Di ujung sambungan telepon, Anto--bukan nama sebenarnya--terdengar terkekeh saat ditanyai komentarnya mengenai kabar bentrok terbaru antara personel TNI dan Polri yang terjadi di Papua. Menurut Anto, cek-cok yang berujung adu jotos bukan hal langka bagi kalangan personel militer yang bertugas di wilayah konflik. 

"Jangankan sama orang luar, terkadang sama rekan-rekan di TNI sendiri juga kita sering ribut tuh. Ha-ha-ha. Itu mah biasa sih. Cuma kan enggak sampe ada korban. Ya, paling hanya adu mulut aja sampe berbusa," kata Anto saat dihubungi Alinea.id, Kamis (16/12) lalu. 

Tak mau identitasnya diungkap, Anto menyebut ia kini "ngantor" di Jakarta. Namun demikian, ia pernah punya pengalaman bertugas di Sorong, Papua selama berbulan-bulan usai lulus sekolah calon Tamtama pada awal 2010. Jika bisa memilih, ia mengaku tak ingin kembali ditugaskan di sana.

"Memang Papua itu panas banget sih. Istilahnya, ya, senggol bacok gitu. Orang-orangnya banyak yang keras juga kan. Belum lagi antara kita (militer) dan rekan-rekan Polri juga kadang-kadang sering banget ribut karena hal-hal kecillah. Padahal, sama-sama tugas jaga di sana," kata Anto. 

Akhir November lalu, sejumlah personel Satgas Nanggala Kopassus TNI ribut dengan personel Satgas Amole Polri yang tengah berjualan rokok di Pos RCTU Ridge Camp Mile 72, Tembagapura, Mimika, Papua. Penyebab keributan ternyata sepele. Anggota Satgas Nanggala menganggap personel Satgas Amole Polri menjual rokok dengan harga kemahalan. 

Tak terima personel Satgas Amole Polri cari untung kebanyakan dari mereka, puluhan personel Satgas Nanggala mengamuk. Polisi-polisi yang tengah nyambi jadi penjual rokok itu dikeroyok dan dipukuli menggunakan benda tumpul. Suara letusan senjata sempat terdengar. 

Sekira dua pekan sebelumnya, keributan yang melibatkan personel Polri dan TNI juga terjadi di dekat kantor Gubernur Papua di Jalan Dr Sam Ratulangi, Jayapura. Kali itu, belasan personel Brimob dilaporkan memukuli warga dan anggota Kodam XVII/Cenderawasih. Salah seorang personel Brimob disebut sempat menodongkan pistol kepada anggota TNI. 

Menurut Anto, panasnya tensi politik dan rawannya situasi keamanan di Papua kerap mempengaruhi karakter para personel militer yang ditugaskan di sana. Ia menyebut banyak rekannya yang jadi "bersumbu pendek" karena bertugas terlalu lama di Bumi Cenderawasih.

Sponsored

"Yang bahaya itu kalau sampai kalap dan gelap mata. Kasus yang di Memberamo itu kemarin kan sampai ada yang meninggal karena bentrok. Sama juga. Itu katanya, denger-denger, karena salah paham aja," kata Anto. 

Kasus yang dimaksud Anto ialah bentrok berdarah antara personel Satgas Pamrahwan Yonif 755/20/3-Kostrad dan anggota Polres Mamberamo Raya di Kampung Kasonaweja, Distrik Mamberamo Tengah, Mamberamo Raya, Papua, pada awal April 2020. Dalam peristiwa itu, tiga anggota Polres Mamberamo Raya tewas diterjang timah panas.

Anto sendiri mengaku sempat stres saat bertugas di Papua. Selain karena jauh dari rumah dan keluarga, Anto mengatakan ia dan rekan-rekannya juga kerap dibebani tugas tambahan yang bahkan lebih berbahaya ketimbang tugas rutinnya. 

Oleh atasannya, Anto dan sejumlah rekannya, misalnya, sering ditugasi untuk menjaga kawasan perkebunan sawit yang berbatasan dengan hutan di Sorong. Menurut Anto, kawasan itu terkenal sebagai tempat melintasnya kelompok kriminal bersenjata. Pos jaga Anto dan kawan-kawan sempat jadi sasaran tembak kelompok tersebut. 

"Gimana enggak stres coba? Kita jaga di hutan, kondisi gelap di malam hari, personel terbatas. Enggak tahu itu ada berapa lawan kalau mereka serang. Siap mati aja kita itu. Makanya, kalau enggak tugas, terus ke kota, seringnya itu kita agak berlebihanlah. Lepas stres. Tapi, kadang-kadang jadi enggak baik. Ributlah, berantem," tutur dia. 

Personil Brimob berjaga di sekitar Asrama Mahasiswa Nayak Abepura di Kota Jayapura, Papua, Minggu (1/9). Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru

Laksamana Madya TNI (Purn) Ahmad Taufiqoerrochman mengakui stres dan depresi memang kerap membekap personel militer yang bertugas di wilayah konflik. Menurut dia, personel militer sekelas perwira dan bintara pun bisa jadi "gila" jika tidak siap secara mental menghadapi medan tempur yang berat. 

"Karena karakter itu terbentuk setelah beberapa waktu dia bertugas. Jadi, tidak instan. Pendidikan dan penugasan yang membentuk karakter dia. Jadi, misalnya dari awal lembek-lembek kemudian dikirim ke daerah tempur, ya, stres dia," ucap Taufiqoerrochman kepada Alinea.id, Senin (6/12). 

Sebelum pensiun, Taufiqoerrochman pernah punya pengalaman di beragam medan tempur yang berbahaya. Ia, misalnya, pernah menjadi komandan lapangan dalam operasi militer pembebasan sandera dari perompak Somalia dan terlibat dalam operasi militer melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh.

Selama bertahun-tahun, Taufiqoerrochman juga sudah malang-melintang menjadi instruktur pasukan tempur untuk prajurit baru TNI. Berdasarkan pengalaman, Taufiqoerrochman mengaku sering menemukan prajurit yang cerdas secara intelektual, namun tak punya mental yang kuat saat bertemu bahaya. 

"Bisa jadi karena teledor yang ngetes atau tidak terdeteksi dengan psikotest dan sebagainya atau ada yang masuk karena kongkalikong. Kita masih banyak yang seperti itu. Orang yang tidak memenuhi syarat secara fisik dan mental pun masuk," ucap Taufiqoerrochman. 

Depresi dan stres, kata Taufiqoerrochman, bisa menyerang para personel militer karena kekeliruan dalam penugasan. Saat operasi militer di Aceh, misalnya, Taufiqoerrochman mendapati banyak anak buahnya depresi lantaran kelamaan bertugas di area konflik. 

"Pernah saya punya anak buah dia sedang menghadapi permasalahan sampai dia mau bunuh diri. Saya sampaikan, 'Nak, saya ini orang tuamu.' Jadi, saya suruh dia cerita masalah dia. Akhirnya saya bilang kalau mau bunuh diri itu bukan menyelesaikan masalah. Tapi, justru kamu dosa besar," ucapnya.

Depresi pada prajurit yang bertugas di wilayah konflik, kata Taufiqoerrochman, tidak bisa dibiarkan. Dalam sejumlah kasus, ia menemukan prajurit mengabaikan tugas lantaran dilanda stres. Jika tidak segera ditangani, gangguan mental terhadap seorang prajurit bisa memengaruhi kinerja pasukan. 

Sayangnya, TNI kerap kekurangan tenaga psikiater untuk ditempatkan di medan tempur yang ganas. Mau tidak mau, kata Taufiqoerrochman, seorang komandan harus melengkapi diri dengan pengetahuan psikologi terapan dan merangkap sebagai psikiater dadakan di tengah pasukan saat bertugas di medan tempur. 

"Jadi, kalau kita mau jadi komandan yang benar, kita harus pahami kondisi anak-anak seperti apa. Kenapa tiba-tiba jadi aneh, jadi murung dan sebagainya? Kita yang mendekat ke mereka sebagai atasan. Ajak mereka untuk terbuka dengan kita," ucap Taufiqoerrohman.

Meskipun di militer berlaku rantai komando, menurut Taufiqoerrohman, seorang komandan tak boleh terlalu berjarak dan harus peka terhadap kondisi yang dihadapi anak-anak buahnya. Seorang komandan, kata dia, harus pintar memposisikan diri saat menjadi panglima, orang tua, guru, atau bahkan sebagai teman. 

"Perlu diingat kebanggan seorang prajurit bukan pangkat jabatan atau kedudukan melainkan bila dia bisa berfungsi sebagai prajurit di mana pun ditugaskan," ujar mantan Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) tersebut. 

Prajurit Korps Marinir TNI AL berjaga di sekitar Pelabuhan Jayapura, Papua, Minggu (1/9). Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru

Harus diwaspadai

Peneliti kajian Papua di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) meminta pemerintah serius memperhatikan kesehatan mental prajurit TNI dan polisi yang bertugas di berbagai wilayah konflik, termasuk di Papua. Ia memperkirakan bentrok-bentrok antara aparat keamanan karena urusan sepele bakal terus terjadi seiring memanasnya konflik di Papua. 
 
"Tidak hanya masyarakat yang tertekan, tapi juga aparat. Yang akhirnya berujung fatal bila tidak disembuhkan. Kalau pikiran lagi kalut dan tidak stabil lalu dengan mudah mendapatkan senjata itu bisa digunakan untuk nyerang dan bunuh diri," kata Adriana kepada Alinea.id, Jumat (12/12).

Sejak beberapa tahun terakhir, konflik antara militer dan kelompok separatis di Papua memang terus memanas. Kontak senjata kian rutin terjadi. Korban berjatunan, baik dari pihak militer, polisi, atau bahkan warga setempat yang terjebak di konflik. 

Berkaca dari pengalamannya meneliti Papua, termasuk kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Wamena pada 2019, Adriana memperkirakan akan semakin banyak aparat keamanan yang terganggu mentalnya jika bara konflik Papua tak kunjung padam. Pada seorang prajurit, depresi bisa muncul saat diberi tugas yang bertentangan dengan hati nuraninya.

"Dampak konflik itu salah satunya depresi. Kalau enggak ada komitmen untuk menghentikan konflik, ya, tentara depresi akan banyak bermunculan. Kita harus sadari TNI dan polisi juga manusia, punya daya tahan terbatas. Harus dipahami bahwa tidak semuanya tegar menghadapi tekanan," ucap Adriana.

Meskipun hingga kini tidak jelas kapan konflik di Papua akan padam, Adriana menyarankan agar pemerintah segera merancang program pemulihan trauma bagi korban konflik di Papua. Selain untuk memulihkan trauma warga setempat yang terimbas operasi militer, program tersebut juga bisa digunakan untuk merawat prajurit atau polisi yang terganggu mentalnya saat bertugas. 

"Pemerintah hanya melihat kerugian fisik. Padahal, konflik itu membawa trauma mendalam bagi siapa saja, baik masyarakat yang jadi korban maupun aparat. Menurut saya, harus diperhatikan program pemulihan trauma. Saya rasa kita belum pernah serius terhadap pemulihan trauma. Waktu konflik di Aceh saja enggak ada," ucap Adriana.

Warga membersihkan sisa kebakaran di halaman rumahnya yang hangus terbakar di Kota Jayapura, Papua, Minggu (1/9). Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru

Ahli jiwa dari bagian psikiatri Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soetomo, Surabaya, Aimee Nugroho menilai wajar jika aparat keamanan yang bertugas di daerah konflik rentan stres dan depresi. Pasalnya, mereka mempertaruhkan nyawa saat menjalankan tugas. 

"Jadi, dia merasa berada di lingkungan yang tidak aman dan mengancam nyawa sehingga membuat orang mudah stres dan trauma. Selain itu, jauh dari keluarga juga otomatis membuat dia tidak ada support dari orang yang dicintai," ucap Aimee kepada Alinea.id, Rabu (8/12).

Aimee sepakat depresi pada prajurit dan polisi yang bertugas di area konflik harus segera diatasi. Jika dibiarkan, dampak depresi bisa meluas. Dalam sejumlah kasus, Aimee menemukan banyak pengidap depresi yang membawa "kemarahan" dari tempat kerja pulang ke rumah.

"Mereka menjadikan anak dan istri sebagai pelampiasan. Banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang berpangkal dari kondisi depresi... Dari atasan maupun teman kesatuannya supaya bisa memahami kondisinya. Itu supaya tidak menjelma ke hal fatal. Kalau ada gejala sering membolos, mudah marah, dan enggak bisa tidur, segera waspadai," kata Aimee.

Berita Lainnya
×
tekid