Telegram Kapolri bertentangan dengan keputusan MK

ICJR juga menilai, pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat penghina presiden dan pemerintah juga tidak tepat.

Mabes Polri di Jakarta, Desember 2017. Google Maps/Aditya Wicaksono

Polri dianggap membungkam kebebasan berpendapat melalui Surat Telegram Kapolri Nomor ST/1100/IV/Huk.7.1/2020 tanggal 4 April 2020. Sebab, orang yang diduga menghina presiden dan pemerintah terancam ditindak sesuai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus A. T. Napitupulu, menyatakan, tindakan itu tidak bisa dilakukan lantaran Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membatalkan pasal-pasal terkait penghinaan presiden. Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 ayat (1) KUHP, misalnya.

"MK menegaskan, bahwa perbuatan kriminalisasi terhadap penghinaan presiden tidak lagi relevan untuk diterapkan dalam masyarakat demokratis, negara yang berkedaulatan rakyat, dan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM)," katanya melalui keterangannya di Jakarta, Selasa (7/4).

MK juga menekankan tidak boleh ada peraturan sejenis dengan delik penghinaan presiden yang sudah diputus. Karenanya, ketentuan pidana apa pun mengenai penghinaan terhadap penguasa yang dilihat secara kelembagaan tak dapat digunakan untuk melindungi presiden sebagai pejabat dan pemerintah.

Selain berdasarkan putusan MK, tambah Erasmus, pasal-pasal lain yang masih digunakan juga tidak tepat digunakan. Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan, Pasal 156 KUHP dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian, dan Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum, contohnya.