Telegram Kapolri: Politis, represif, dan dinilai tak efektif

Polisi mulai meringkus para penghina Presiden di tengah pandemi. Penggunaan pasal 207 KUHP dalam telegram Kapolri dipersoalkan.

Lewat telegram, Kapolri Idham Aziz menginstruksikan personel kepolisian menindak para penyebar hoaks dan penghina pejabat negara saat pandemi Covid-19. Ilustrasi Alinea.id/Oky Diaz

Selang beberapa hari setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengimbau publik untuk bekerja dan beribadah di rumah demi mencegah meluasnya penyebaran Covid-19, pengemudi ojek online berinisial MA mengunggah kritik di laman Facebooknya. 

Dalam unggahan bertanggal 20 Maret itu, MA meminta anggota Dewan Pertimbangan Presiden Muhammad Luthfi bin Yahya atau Habib Luthfi mengingatkan Jokowi untuk tak melarang salat berjamaah. Selain menyebut penyakit sebagai ujian dari Tuhan, MA pun menyindir rezim Jokowi yang membiarkan para penista agama berkeliaran. 

Tak butuh lama, unggahan bernada kebencian itu dilirik seorang warganet. Sang warganet kemudian melaporkan unggahan MA ke polisi. Tepat dua pekan setelah unggahan itu tayang, polisi bergerak meringkus MA di kediamannya di Jakarta Utara. 

"Kasus ujaran kebencian menggunakan media sosial," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (3/4).

Hanya sehari setelah MA ditangkap, Kepala Polri Jenderal Idham Aziz menerbitkan lima telegram tentang instruksi pencegahan dan penindakan selama pandemi Covid-19 berlangsung.