Titik lemah sistem autopsi forensik

Belakangan autopsi forensik menjadi sorotan pula dalam kasus tewasnya Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Ilustrasi jenazah. Alinea.id/Firgie Saputra

Pada 2016, kematian terduga teroris Siyono sempat menjadi pembicaraan karena dianggap menyisakan misteri. Siyono ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror di Klaten, Jawa Tengah pada Maret 2016.

Keterangan polisi, Siyono meninggal dunia usai berkelahi dengan petugas di dalam mobil saat berada di jalur Klaten-Yogyakarta. Polisi menganggap, tewasnya Siyono akibat kelalaian, bukan kesengajaan. Luka di kepala belakang lantaran benturan benda tumpul disebut sebagai penyebab kematian.

“Dia (Siyono) meninggal karena disiksa,” ujar koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti kepada reporter Alinea,id, Sabtu (10/9).

Pada 11 April 2016, keluar hasil autopsi forensik dari Komnas HAM, Persatuan Dokter Forensik Indonesia (PDFI), dan PP Muhammadiyah terhadap jenazah Siyono. Hasilnya, ia tewas karena patah tulang di bagian dada yang mengarah ke jaringan jantung. Selain itu, disebut tak ada tanda-tanda perlawanan dari Siyono.

Meski begitu, polisi menolak hasil autopsi itu. Saat itu, seperti dikutip dari BBC edisi 12 April 2016, juru bicara Polri Agus Rianto menegaskan, pihaknya tetap berpedoman pada hasil autopsi dokter forensik kepolisian.