sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Titik lemah sistem autopsi forensik

Belakangan autopsi forensik menjadi sorotan pula dalam kasus tewasnya Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Selasa, 13 Sep 2022 15:33 WIB
Titik lemah sistem autopsi forensik

Pada 2016, kematian terduga teroris Siyono sempat menjadi pembicaraan karena dianggap menyisakan misteri. Siyono ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror di Klaten, Jawa Tengah pada Maret 2016.

Keterangan polisi, Siyono meninggal dunia usai berkelahi dengan petugas di dalam mobil saat berada di jalur Klaten-Yogyakarta. Polisi menganggap, tewasnya Siyono akibat kelalaian, bukan kesengajaan. Luka di kepala belakang lantaran benturan benda tumpul disebut sebagai penyebab kematian.

“Dia (Siyono) meninggal karena disiksa,” ujar koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti kepada reporter Alinea,id, Sabtu (10/9).

Pada 11 April 2016, keluar hasil autopsi forensik dari Komnas HAM, Persatuan Dokter Forensik Indonesia (PDFI), dan PP Muhammadiyah terhadap jenazah Siyono. Hasilnya, ia tewas karena patah tulang di bagian dada yang mengarah ke jaringan jantung. Selain itu, disebut tak ada tanda-tanda perlawanan dari Siyono.

Meski begitu, polisi menolak hasil autopsi itu. Saat itu, seperti dikutip dari BBC edisi 12 April 2016, juru bicara Polri Agus Rianto menegaskan, pihaknya tetap berpedoman pada hasil autopsi dokter forensik kepolisian.

Wacana independensi

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana mengatakan, pihaknya juga pernah menangani perkara Asep Sunandar, yang pada September 2016 tewas ditembus 12 peluru dari pistol polisi. Asep dituding sebagai pelaku kasus pencurian dengan kekerasan di wilayah Cianjur dan Bandung.

“Padahal dia (Asep) dalam rekam jejaknya enggak ada catatan kriminal, tiba-tiba disematkan kalau orang ini DPO (daftar pencarian orang),” ucap Arif, Sabtu (10/9).

Sponsored

Pada pertengahan November 2016, tim forensik Polda Jawa Barat bersama petugas medis RSUD Cianjur sempat melakukan autopsi terhadap jasad Asep. Namun, dilaporkan Antara edisi 17 November 2016, proses autopsi itu dilakukan secara tertutup.

Jenazah Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J dimakamkan kembali di Desa Suka Makmur, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, secara kedinasan setelah dilakukan autopsi ulang, Rabu (27/7/2022)./Foto Antara/Wahdi Septiawan.

Belakangan autopsi forensik—pemeriksaan mayat dengan cara dibedah untuk mengetahui penyebab kematian, terutama orang yang meninggal akibat suatu sebab tak wajar—menjadi sorotan pula dalam kasus tewasnya Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J pada 8 Juli 2022 di rumah dinas mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo di Jalan Duren Tiga, Jakarta Selatan.

Kasus yang seiring waktu menyeret nama Ferdy Sambo dan istrinya Putri Candrawathi, Bharada Richard Eliezer alias Bharada E, Brigadir Ricky Rizal alias Brigadir RR, dan asisten rumah tangga Kuat Maruf sebagai tersangka itu dilakukan dua kali autopsi terhadap jenazah Yosua.

Autopsi pertama dilakukan tim kedokteran forensik Rumah Sakit Bhayangkara R Said Sukanto, Jakarta Timur pada Jumat (8/7) malam. Hasil autopsi pertama menunjukkan, ada tujuh luka tembak, yang dua di antaranya ditemukan di kepala dan dada. Dua luka fatal itu disimpulkan sebagai penyebab kematian.

Namun, keluarga Brigadir J tak puas dengan autopsi pertama lantaran curiga mendapati beberapa bekas luka di jenazah. Pada Rabu (27/7) dilakukan autopsi ulang di RSUD Sungai Bahar, Jambi. Dokter forensik yang terlibat dalam autopsi kedua itu berasal dari RS Cipto Mangunkusumo, Universitas Andalas, RSP Angkatan Darat, dan Universitas Udayana.

Hasil autopsi yang diumumkan pada Senin (22/8) ternyata ada sedikit perbedaan dengan autopsi awal. Jika di autopsi pertama ditemukan tujuh luka tembak, pada autopsi kedua hanya ditemukan lima luka tembak. Dua luka fatal ditemukan sama dengan autopsi pertama, yakni di dada dan kepala. Dua autopsi tersebut tak ditemukan luka kekerasan, selain dari senjata api.

Berangkat dari kasus-kasus yang pernah diadvokasi KontraS, Fatia menilai, proses autopsi forensik yang dilakukan kepolisian cenderung tak transparan. Menurutnya, hal itu menyulitkan pendampingan.

“Atau pun (kesulitan bagi) keluarga korban untuk mencari kebenaran. Kebanyakan itu terjadi di kasus penyiksaan,” tutur Fatia.

Oleh karenanya, kata Fatia, KontraS kerap menggandeng ahli forensik independen untuk kasus-kasus yang diadvokasi, terutama perkara dugaan penyiksaan. Pemeriksaan jenazah yang independen, menurut Fatia bermanfaat membuka fakta.

Sedangkan menurut Arif, di dalam KUHAP tak terdapat aturan detail apakah keluarga korban atau pengacaranya berhak mengajukan autopsi sendiri. KUHAP, sebut dia, lebih banyak mengatur hak penyidik dalam meminta keterangan ahli forensik.

“Praktiknya seperti yang terjadi di kasus Brigadir J. Ketika (keluarga) meminta autopsi ulang, intinya polisi juga yang melakukan,” katanya.

Arif menuturkan, seharusnya laboratorium forensik bersifat independen dan dijamin tak bisa dipengaruhi, diancam, atau dirayu apa pun. “Bisa jadi, nanti ada lembaga independen profesi yang bisa diajak kerja sama,” ujarnya.

“Tapi yang jelas tidak di bawah lembaga penegak hukum.”

Sementara itu, anggota Komisi III DPR dari fraksi PDI-P Arteria Dahlan tak sepakat jika ada lembaga independen yang mengurus pemeriksaan jenazah. “Enggak perlu semuanya minta independen. Kalian mau percaya sama siapa?” kata dia, Jumat (9/9).

Arteria menambahkan, jika ada perbedaan pandangan mengenai hasil autopsi itu wajar. Ia meminta semua pihak tetap percaya kepada instansi yang diberi kewenangan melakukan tugas autopsi forensik.

“Pertama, kita berprasangka baik. Kedua, kita meyakini betul, mereka yang bekerja ini kan juga mempertaruhkan, tidak hanya reputasi, (tapi) ada pertanggung jawaban hukumnya,” ujarnya.

“Lebih baik kita semua percaya kepada aparat yang diberikan kekuasaan untuk itu. Nah, kalau menyimpang baru kita evaluasi dan kita berikan sanksi.”

Kelemahan kita

Ilustrasi mayat./Pixabay.com.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, hasil autopsi forensik bisa menentukan apakah pembunuhan dilakukan secara berencana, kesengajaan spontan, atau kelalaian. Dalam perkara perdata, kata dia, bisa pula menentukan besar-kecil tuntutan ganti rugi dari perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kematian.

“Demikian juga dari perspektif HAN (hukum administrasi negara), hasil forensik juga merupakan KTUN (keputusan tata usaha negara) yang bisa menjadi objek gugatan PTUN,” tuturnya, Sabtu (10/9).

Ia tak sepakat ada persoalan dalam autopsi forensik di Indonesia. Menurutnya, autopsi dilakukan oleh kalangan profesional, yakni dokter, yang sudah disumpah. Dokter sendiri diangkat negara dan sudah pasti independen.

“Jika ditemukan penyimpangan, maka pasti akan ada proses penuntutan di dewan etik. Jika hanya perbedaan tafsir, itu hal yang biasa, tidak menyebabkan kebatalan.” katanya.

Dihubungi terpisah, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menjelaskan, proses autopsi punya dua sifat, yakni pro justitia (hukum) dan nonpro justitia (akademik). Jika dikaitkan dengan hukum, seperti penyidikan, maka masuk wilayah Polri.

“Tetapi, kalau kita lihat dalam konteks kematian yang umum sifatnya, saintifik, sebenarnya bisa-bisa saja dibentuk tim independen. Kasus ekshumasi kedua Brigadir J itu contoh pelibatan tim independen,” ucapnya, Sabtu (10/9).

Dosen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Universitas Padjadjaran (Unpad) Yoni Fuadah Syukriani menjelaskan, di Indonesia belum ada peraturan terkait panduan untuk menentukan apakah kematian seseorang harus diautopsi atau tidak. Akibatnya, autopsi hanya dilakukan kalau dianggap perlu oleh penegak hukum atau keluarga.

“Jika ada kematian yang diduga kuat terkait tindak kriminal, tapi aparat tidak menganggap perlu dilakukan autopsi, maka permintaan autopsi tidak akan ada,” ujarnya, Senin (12/9).

Situasi yang kerap kali terjadi adalah penegak hukum “mengalah” kepada keinginan keluarga. Padahal, lanjut Yoni, jika aparat menganggap autopsi perlu dilakukan untuk kepentingan penegakan hukum, maka penolakan dari keluarga bisa diabaikan.

Lebih lanjut, absennya peraturan soal autopsi berimbas pada banyaknya kejadian yang tak terungkap. Misalnya, dalam kasus kecelakaan transportasi umum. Jika pengemudinya meninggal, maka autopsi penting dilakukan.

“Agar diketahui apakah dia mengemudi di bawah pengaruh obat, alkohol, atau sakit,” ucapnya.

“Informasi ini penting untuk sistem penjaminan keselamatan kendaraan umum.”

Di samping itu, Yoni menerangkan, masalah independensi dalam kedokteran forensik berkaitan dengan bebas dari tekanan. “Misalnya, tekanan dari atasan untuk mengubah hasil. Yang disebut atasan dokter forensik, misalnya kepala rumah sakit, komandan kesatuan, dan lain-lain,” katanya.

Tekanan bisa pula muncul dari keluarga korban, keluarga tersangka, atau publik. Sedangkan imparsial, dimaknai Yoni dengan ketidakberpihakan. Dalam kedokteran forensik, masalah ini bisa muncul karena sang dokter punya hubungan dengan korban, tersangka, atau penegak hukum.

Yoni menjelaskan, ada tiga model sistem pemeriksaan kematian yang bisa dijalankan untuk menjaga independensi dan tetap imparsial. Pertama, memerlukan lembaga khusus yang masih jadi bagian dari pemerintahan lokal.

Infografik autopsi. Alinea.id/Firgie Saputra

“Kantor tersebut mengelola city morgue (kamar mayat untuk memeriksa kematian, mengelola jenazah tak dikenal, dan tempat penyimpanan sementara pada kejadian bencana),” ucapnya.

Kedua, mengikuti sistem pelayanan kesehatan. Menurutnya, model ini menempatkan rumah sakit sebagai bagian sistem pemeriksaan kematian dan dokter forensik jadi pegawai di sana.

Ketiga, sistem pemeriksaan kematian terbagi. Dalam sistem ini, tugas pemeriksaan kematian dilakukan dengan seleksi awal untuk menentukan kematian wajar atau tidak di tingkat kota. Bila hasilnya tak wajar dan butuh pemeriksaan lanjutan, maka diserahkan kepada lembaga khusus di tingkat pusat.

“Contoh di Belanda ada dokter khusus di tiap kota sebagai pemeriksa kematian di kota tersebut. Jika ditemukan kasus yang memerlukan fasilitas khusus, maka dirujuk ke pusat forensik tingkat nasional,” ujarnya.

“Lembaga nasional ini merupakan lembaga negara independen nonpenegak hukum.”

Terlepas dari itu, ada banyak persoalan dalam kedokteran forensik. Yoni mengungkapkan, jumlah dokter forensik di Indonesia antara 250-275 orang. Mayoritas adalah pendidik yang bekerja di tujuh pusat studi spesialis forensik.

“Masih ditemukan ibu kota provinsi atau kota/kabupaten yang tidak punya dokter forensik,” katanya.

Kenyataan itu diperparah dengan karier yang tak jelas lantaran sistem pelayanannya masih tak jelas pula. Pemangku kepentingan juga banyak yang belum paham fungsi dokter forensik.

“Banyak yang masih mengira dokter forensik itu bagian dari kepolisian,” ucap Yoni.

Berita Lainnya
×
tekid