Waspadai akal bulus perusahaan pembakar hutan

Banyak perusahaan yang menyatakan bangkrut ketika diminta ganti rugi atas kebakaran hutan yang mereka sebabkan.

Foto udara, sejumlah petugas pemadam kebakaran berusaha melakukan pendinginan, pasca kebakaran hutan di Bukit Cubadak, Balaigadang, Padang, Sumatera Barat, Selasa (17/9). /Antara Foto

Pemerintah diminta mewaspadai akal-akalan perusahaan-perusahaan yang kini sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Berkaca pada kasus karhutla pada 2015, banyak perusahaan pembakar hutan yang tiba-tiba pailit setelah dipaksa membayar ganti rugi kepada negara.  

"Perusahaan-perusahaan yang sudah dibawa ke meja hijau dan dinyatakan bersalah, mereka tidak membayar sanksinya. Jadi, putusan pengadilan enggak dijalankan dan pemerintah juga tidak menindaklanjuti itu," ujar juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Ratri Kusumohartono kepada Alinea.id, Jakarta, Selasa (17/9). 

Menurut catatan Greenpeace Indonesia, ada 11 perusahaan yang ditetapkan sebagai tersangka kasus karhutla dan sudah diproses hukum pada 2015. Total kerugian yang bisa ditarik negara dari 11 perusahaan itu sebesar Rp18,9 triliun. Namun, baru Rp400 miliar yang masuk ke kas negara. 

Tahun ini, pemerintah sudah menyegel 42 perusahaan yang diduga terlibat dalam kebakaran hutan. Selain itu, Polri juga telah menetapkan 5 perusahaan dan 218 orang sebagai tersangka kasus pembakaran hutan. 
 
Ratri khawatir, penetapan tersangka kepada perusahaan bakal sia-sia jika pemerintah tidak tegas dalam memberikan sanksi. "Kalau tahun ini, ceritanya sama lagi, ya, pantas saja kejadiannya (karhutla) berulang. Karena memang enggak ada efek jeranya ke perusahaan," ujar dia. 

Menurut catatan Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan, karhutla 2019 sudah merambah sekitar 328,722,00 hektare lahan. Data tersebut diperoleh berdasarkan analisis citra satelit Landsat 8 OLI/TIRS yang dipadukan dengan sebaran titik api dan pengecekan di lapangan.