Bahaya RUU DKJ: Renggut demokrasi, perkuat dinasti Jokowi

Salah satu pasal dalam RUU DKJ memberikan kewenangan khusus bagi wakil presiden, terpisah dari presiden.

Ilustrasi Kota Jakarta. Alinea.id/Aisya Kurnia

Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) terus memicu polemik. Poin utama RUU itu ialah meniadakan pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta. Jika mulus dibahas dan disahkan, Gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta nantinya akan ditunjuk langsung oleh presiden dengan mempertimbangkan rekomendasi DPRD. 

Eks Koordinator Jaringan Rakyat Miskin Kota (JMRK) Enny Rochayati menegaskan bakal memprotes keras RUU tersebut. Menurut dia, beleid tersebut bakal merenggut hak demokrasi warga Jakarta dan memupus tradisi kontrak politik yang dilakukan JRMK dengan calon pemimpin saat pilkada. 

"Sudah tidak benar, wakil presiden akan menjadi raja kecil di Jakarta dan sekitarnya, dan akan semakin otoriter. Boro-boro kami bisa membuat kontrak politik, yang ada suara rakyat akan dibungkam, intinya kami tidak setuju dengan RUU tersebut," ucap Enny kepada Alinea.id, Rabu (20/12).

Enny menyebut sudah banyak program inisiasi JRMK yang sukses direalisasikan setelah terbangun kontrak politik dengan calon kepala daerah saat Pilgub DKI Jakarta 2017. Salah satunya ialah program penataan kampung yang diatur melalui Keputusan Gubernur 878 Tahun 2020 dan Keputusan Gubernur 979 Tahun 2022. 

"Lalu, diterbitkannya IMB-IMB (izin-izin mendirikan bangunan) dan perubahan RDTR (rencana detail tata ruang) dan sebagainya," ucap perempuan yang kini tercatat sebagai salah satu bacaleg DPRD DKI Jakarta itu.