close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menjawab pertanyaan wartawan dalam konferensi pers terkait revisi KUHAP di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta,  Kamis (20/3). /Foto dok. DPR RI
icon caption
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menjawab pertanyaan wartawan dalam konferensi pers terkait revisi KUHAP di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Kamis (20/3). /Foto dok. DPR RI
Politik
Kamis, 17 Juli 2025 16:02

Duduk perkara "raibnya" dokumen RKUHAP di situs DPR

Server situs DPR sering down sehingga publik kesulitan mengakses naskah RKUHAP.
swipe

Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menegaskan proses pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) berjalan terbuka dan transparan. Menurut dia, seluruh dokumen yang berkaitan dengan RUU tersebut telah tersedia di situs resmi DPR RI dan dapat diakses oleh masyarakat. 

“Draft RUU KUHAP sudah kami unggah sejak 18 Februari 2024, segera setelah disahkan dalam paripurna, untuk masuk pembahasan. Dokumen itu tidak pernah hilang seperti yang sempat diberitakan,” ujar Habiburokhman kepada wartawan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (17/7).

Habiburokhman mengatakan semua dokumen penting, mulai dari naskah akademik, daftar inventarisasi masalah (DIM), notulen rapat, hingga hasil pembahasan panitia kerja (panja) tersedia dan tercatat diunggah secara bertahap. Ada pula dokumen hasil masukan dari masyarakat yang disampaikan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU).

Sekretariat Komisi III DPR RI, kata Habiburokhman, melakukan verifikasi menyeluruh sebelum setiap unggahan. “Kami butuh waktu semalaman untuk memastikan dokumen PDF dan versi cetaknya sesuai, agar tidak terjadi kesalahan dalam pembahasan,” tambahnya.

Sebelumnya, warganet mempersoalkan dokumen draf RKUHAP yang tak bisa diakses di situs resmi DPR. Ada yang berspekulasi bahwa draf RUU itu sengaja disembunyikan. 

Habiburokhman membantah tudingan tersebut. Ia menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi hanya karena gangguan teknis pada situs DPR yang berlangsung selama kurang dari satu jam. 

“Namanya juga teknologi, kadang ada gangguan. Tetapim tidak benar kalau dikatakan dokumennya hilang. Yang benar hanya website-nya sempat tidak bisa dibuka sebentar,” ujar politikus Partai Gerindra itu. 

Untuk publik yang kesulitan mengakses dokumen, Habiburokhman menyarankan agar memanfaatkan fitur tanya-jawab (QnA) dan smart assistant pada kolom pencarian di situs DPR. “Komitmen kami adalah transparansi. Kami ingin publik terlibat aktif," imbuhnya. 

Dalam rapat tersebut, Kepala Bagian Sekretariat Komisi III, Krisanti Permatasari juga turut memandu simulasi langsung cara mengakses dan mengunduh dokumen-dokumen tersebut dari situs resmi DPR. Tercatat, naskah akademik RUU KUHAP sudah diunduh lebih dari 1.700 kali oleh masyarakat.

Seperti diberitakan sebelumnya, draft RKUHAP yang beredar saat ini ditolak Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP. Sejak pekan lalu, Koalisi meluncurkan petisi ”Tolak Revisi KUHAP Abal-abal” di laman Change.org, Jumat (11/7) lalu. Sejak diluncurkan, petisi itu ditandatangani 8.000 warganet. 

Pasal-pasal bermasalah 

Koalisi menemukan setidaknya ada 11 poin bermasalah dalam draf RUU KUHAP. Pertama, Polri jadi makin superpower dalam proses penyidikan membawahi penyidik non-Polri dikecualikan hanya untuk KPK, Kejaksaan, dan TNI. Penyidik Polri menjadi penyidik utama yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana.

Kedua, TNI semua matra bisa menjadi penyidik tindak pidana. Indikasi itu tertuang dalam Pasal 7 Ayat (5), Pasal 87 Ayat (4), Pasal 92 Ayat (4) draf RUU KUHAP. "Ini membuka ruang bagi TNI untuk menjadi penyidik dalam tindak pidana umum," jelas Koalisi. 

Ketiga, polisi bisa melakukan penangkapan sampai dengan 7 hari. Pasal ini, menurut Koalisi, berbahaya karena bertentangan dengan standar HAM internasional dan lebih buruk dari KUHAP lama yang membatasi waktu penangkapan maksimal 1x24 jam. 

Keempat, polisi bisa melakukan penahanan kapan saja tanpa izin pengadilan dengan dalih mendesak. Makna mendesak diserahkan kepada penyidik. Kelima,  alasan penahanan dipermudah. Keenam, penggeledahan sewenang-wenang dilegitimasi. 

Ketujuh, penyitaan sewenang-wenang dilegitimasi sebagaimana bunyi pasal 112 Ayat (3). "Penyitaan bisa dilakukan tanpa izin pengadilan jika dalam keadaan mendesak. Makna mendesak diserahkan kepada penilaian subyektif penyidik," terang Koalisi. 

Kedelapan, pengaduan atau laporan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti berpotensi terus menumpuk karena tidak tersedia mekanisme penyelesaian yang jelas dan independen. Kesembilan, bantuan hukum tidak untuk semua orang. 

Kesepuluh, hak untuk memilih kuasa hukum sendiri dihapus dalam draf KUHAP baru. Kesebelas, bahaya penyadapan sewenang-wenang. "Poin ini diatur dalam Pasal 124 yang bilang bahwa penyidik dapat menyadap tanpa izin pengadilan dengan alasan mendesak yang salah satu indikatornya adalah situasi berdasarkan penilaian subyektif penyidik," jelas Koalisi. 
 

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan