close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi PoliceTube. Alinea.id/Canva AI-generated content
icon caption
Ilustrasi PoliceTube. Alinea.id/Canva AI-generated content
Peristiwa
Kamis, 24 Juli 2025 13:00

Kombo "mematikan" RKUHAP dan kanal PoliceTube

Platform berbagi video PoliceTube diluncurkan saat DPR dan pemerintah sedang membahas RKUHAP.
swipe

Di tengah derasnya krititik terhadap draf revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), Polri meluncurkan platform berbagi video PoliceTube. Berfungsi layaknya media sosial YouTube dan TikTok, PoliceTube merupakan buah kerja sama Polri dengan PT Digital Unggul Gemilang. 

PoliceTube kini sudah bisa diakses di laman www.policetube.id. Dari penelusuran Alinea.id di platform itu, penampakan PoliceTube mirip dengan tampilan Youtube. Sudah ada ratusan video yang tayang di situs itu. Isinya kinerja kepolisian di tingkat Polri, polda, polres, dan polsek.

Wakil Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana menilai PoliceTube yang diluncurkan saat RKUHAP masih punya banyak poin-poin bermasalah bisa jadi kombinasi yang mematikan. Alih-alih jadi media kontrol publik, PoliceTube malah potensial memamerkan pelanggaran-pelanggaran aturan main saat polisi menjalankan tugas. 

"Harus ada revisi RKUHAP yang memperkuat kontrol publik terhadap upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan dan sebagainya supaya aparat tidak asal-asalan dan sewenang-wenang yang berakibat fatal bagi warga negara, seperti dalam kasus Gamma di Semarang, Afif Maulana di Padang, dan kasus serupa di berbagai daerah lainnya," kata Arif kepada Alinea.id, Rabu (23/7).

Kasus Gamma yang dimaksud Arif ialah penembakan seorang siswa bernama Gamma Rizkynata Oktavandy oleh Aipda Robig di Semarang, Jawa Tengah. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 26 November 2024. Ketika itu, Gamma ditembak Aipda Robig karena diduga terlibat dalam tawuran. 

Adapun Afif Maulana ialah ialah pelajar SMP berusia 13 tahun yang ditemukan tewas dalam kondisi tulang rusuk patah, di bawah Jembatan Kuranji, Padang, Sumatera Barat pada 2024. Afif diduga tewas karena disiksa personel kepolisian setempat. 

Menurut Arif, saat ini RKUHAP dirancang memberi keleluasaan berlebih polisi untuk memeriksa, menggeledah, menyita barang, dan bahkan menahan tersangka. Salah satu yang paling berbahaya ialah wewenang aparat keamanan untuk menangkap orang yang diduga melakukan pidana hingga 7 hari. 

Pasal yang mengatur wewenang tersebut dianggap berbahaya karena bertentangan dengan standar HAM internasional dan lebih buruk dari isi KUHAP lama yang membatasi waktu penangkapan maksimal 1x24 jam. Padahal, ada banyak kasus salah tangkap oleh kepolisian yang terungkap selama beberapa tahun terakhir. 

Di sisi lain, Polri juga terkesan masih mempertahankan budaya impunitas. Aparat kepolisian yang kedapatan menyalahgunakan wewenang kerap dilindungi oleh rekan sejawat mereka. Perlu, ada aturan dan sanksi yang tegas bagi polisi yang melanggar aturan saat menjalankan tugas.

"Ketentuan untuk memperkuat kontrol terhadap kewenangan kepolisian dan proses hukum khusus yang imparsial dan adil untuk aparat penegak hukum (polisi) yang melakukan tindak pidana, dilakukan oleh penyidik khusus diluar kepolisian agar independen dan imparsial," kata Arif.  

Supaya masyarakat tidak menjadi "bulan-bulanan" polisi, menurut Arif, penting untuk mendorong warga negara memahami hak-hak hukumnya dalam proses pidana. RKUHAP juga mesti dipastikan agar penangkapan, penyitaan dan penggeledahan hanya boleh dilakukan jika kepolisian punya surat tugas perintah dari pengadilan. 

"Dan didasarkan pada adanya dugaan tindak pidana dengan mendasarkan pada dua alat bukti. Jika tidak upaya paksa tersebut tidak boleh dilakukan, jika dilakukan itu termasuk sebagai tindakan sewenang-wenang yang bisa dilaporkan sebagai tindak pidana maupun pelanggaran etik. Dasarnya ada dalam Pasal , 33, 36, 38, 104 KUHAP," kata Arif. 

Analis politik dan keamanan Laboratorium Indonesia 2045 (LAB 45), Omar Farizi Wonggo juga punya kekhawatiran serupa. Menurut dia, PoliceTube bisa dijadikan ajang bagi polisi melakukan dramatisasi konten tanpa mempertimbangkan mekanisme dalam proses acara pidana. Yang jadi korban ialah warga sipil. 

"KUHAP saat ini belum mengatur secara jelas terkait batasan upaya paksa yang dapat dilakukan oleh aparat. Dari contoh kasus yang disampaikan, penggeledahan dapat dilakukan oleh polisi jika memang yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana untuk mencari bukiti lebih lanjut," kata Omar kepada Alinea.id, Rabu (23/7).

Menurut Omar, perlu ada panduan dan batasan-batasan khusus untuk meregulasi jenis-jenis konten apa saja yang bisa ditayangkan di PoliceTube. Di lain sisi, revisi KUHAP juga harus bisa memastikan personel polisi tak sewenang-wenang saat berada di depan kamera. 

"Terkait konsen atas perekaman publik juga belum diatur secara jelas karena aturan yang ada saat ini lebih ke reaktif terhadap pos factum (sesudah peristiwa pidana terjadi)," kata Omar.
 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan