close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman memimpin rapat kerja Komisi III DPR dengan Ketua Komisi Yudisial, Amzulian Rifai di ruang rapat Komisi III DPR, Senayan, Jakarta, Senin (10/2/2025). Foto dok. DPR RI
icon caption
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman memimpin rapat kerja Komisi III DPR dengan Ketua Komisi Yudisial, Amzulian Rifai di ruang rapat Komisi III DPR, Senayan, Jakarta, Senin (10/2/2025). Foto dok. DPR RI
Politik
Selasa, 22 Juli 2025 10:00

Problem subjektivitas penyidik dalam draf RKUHAP

Diskresi penyidik ada pada penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan pada RKUHAP.
swipe

Draf revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dipersoalkan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan KUHAP. Salah satu poin yang menjadi sorotan ialah terkait kewenangan penyidik yang diperluas dalam proses perjalanan perkara. 
 
Dalam proses penahanan, misalnya, RKUHAP memberikan wewenang kepada polisi untuk menahan seseorang tanpa izin pengadilan dengan dalih keadaan mendesak. 

"Makna mendesak diserahkan kepada penyidik. Ruang diskresi yang rentan disalahgunakan!" tulis Koalisi dalam petisi bertajuk Tolak RKUHAP Abal-Abal yang diunggah di laman Change.org. Sejak diluncurkan sekira dua pekan lalu, petisi itu sudah ditandatangani lebih dari 10 ribu orang. 

Penyidik juga berhak mengeluarkan diskresi dalam penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan. Sebagaimana isi pasal 105 jo 106, misalnya, penggeledahan bisa dilakukan tanpa izin pengadilan jika dalam keadaan mendesak. 

"Dan bukan hanya pada benda yang terkait dengan tindak pidana. Makna mendesak diserahkan kepada penilaian subyektif penyidik," jelas Koalisi. 

Guru besar hukum acara pidana Universitas Soedirman (Unsoed) Prof. Hibnu Nugroho menegaskan pentingnya penguatan mekanisme kontrol dalam RKUHAP. Ia menilai meski penyidik memiliki kewenangan dalam proses pidana seperti penangkapan, penyitaan, hingga penyadapan, kewenangan tersebut tidak boleh bersifat subjektif mutlak.

“Yang ada adalah subjektif yang terukur. Setidaknya apakah syarat-syaratnya cukup atau tidak. Jadi, bukan subjektif semata,” kata Hibnu saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Lebih lanjut, ia menilai bahwa mekanisme upaya paksa dalam proses hukum saat ini sebenarnya sudah berada dalam kerangka yang lebih baik. “Upaya paksa itu sekarang sudah terukur. Jadi meskipun subjektif, tetap harus ada ukuran dan kendalinya,” tambahnya.

Terkait potensi penyalahgunaan kewenangan jika penyidik diberi keleluasaan tanpa pengawasan, Hibnu menekankan pentingnya kontrol dalam sistem hukum. “Fungsi utama dari RKUHAP adalah memastikan adanya kontrol. Itu yang harus diperkuat sebagai langkah maju dibanding sebelumnya,” jelasnya.

Menurutnya, prinsip due process of law atau proses hukum yang adil hanya bisa terwujud jika ada pengawasan ketat terhadap tindakan penyidik. “Due process of law itu bagian dari perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa. Maka itu harus ada kontrol. Penegak hukum memang bertindak secara subjektif, tetapi subjektivitas itu harus diobjektifkan,” tegasnya.

Subjektivitas yang dimaksud, menurut Prof. Hibnu, tetap harus berdasarkan kondisi riil yang dapat dibuktikan. Misalnya, apakah tersangka berisiko melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengganggu kepentingan umum.

Ia juga memperingatkan bahwa kelompok rentan akan menjadi korban utama jika kewenangan penyidik bersifat sewenang-wenang. “Kelompok rentan tidak boleh jadi korban dari tindakan yang hanya didasarkan pada subjektivitas. Karena kalau itu terjadi, mereka sangat rentan untuk diperlakukan tidak adil,” katanya.

Sebagai langkah antisipatif, Hibnu mendorong partisipasi publik dalam proses revisi RKUHAP yang masih dalam tahap pembahasan. “Peran serta masyarakat sangat penting untuk memastikan RKUHAP yang dihasilkan benar-benar akuntabel,” imbuh dia. 

 

img
Adityia Ramadhani
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan