Kualitas kampanye masih buruk

Ruang publik kerap hanya diisi saling serang antarpaslon dan berita bohong.

Warga mengangkat poster bertulis penolakan terhadap hoaks jelang Pemilu 2019 saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (3/2). Foto Antara

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menilai kualitas kampanye politik jelang pemungutan suara Pemilu 2019 buruk. Alih-alih diisi kampanye politik yang bernas dan substansial, ruang publik kerap hanya diisi saling serang antarkubu dan berita bohong atau hoaks.

"Mohon maaf, bisa saya katakan (kualitas politik kita) enggak maju-maju. Walaupun sudah masa tiga bulan masa kampanye," ujar Syamsuddin dalam diskusi "Hak Konstitusional Pemilih Dalam Negara Demokratis" di Jenggala Center, Selong, Jakarta Selatan, Kamis (27/2). 

Tak bisa dimungkiri kampanye politik lebih kental nuansa saling serang terhadap personal masing-masing kandidat. Sejumlah isu yang beredar digunakan sebagai peluru untuk saling serang, semisal rumor penggunaan konsultan asing, kebocoran anggaran dan peredaran tabloid Indonesia Barokah. 

Kedua kubu pun sibuk saling melaporkan dugaan pelanggaran, baik itu ke Bawaslu maupun ke kepolisian. Substansi visi misi yang harusnya menjadi bahan diskusi di ruang publik pun kerap terpinggirkan dari pembahasan. 

Menurut Syamsuddin, buruknya kualitas kampanye para peserta pemilu disebabkan oleh kegagalan pendidikan politik di Indonesia. "Ini adalah akumulasi kegagalan pendidikan politik, yang mestinya dilakukan partai politik, negara dan elemen civil society," kata dia. 
 
Lebih jauh, Syamuddin mengatakan, buruknya kualitas kampanye politik membuka ruang bagi penyebaran hoaks secara masif. Ia mencontohkan hoaks emak-emak di Karawang yang menyebarkan ancaman 'Indonesia tanpa azan' jika Jokowi terpilih lagi sebagai presiden, belum lama ini.