Pemenang Pilpres 2019, bisakah lembaga survei diandalkan?

Siapakah yang akan menang dalam Pilpres 2019? Bisakah kita percaya hasil lembaga survei? Bagaimana data menurut Google?

Pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam debat perdana Pilpres 2019 / Ahmad Rifwanto

Sepekan menjelang referendum kemerdekaan Skotlandia pada September 2014, ICM Research menggelar survei untuk merekam preferensi para penghuni negeri asal William Wallace itu. Sigi ICM menemukan, mayoritas publik ternyata ingin Skotlandia lepas dari Inggris Raya. Dari 750 responden yang disurvei, sebanyak 54% penduduk Skotlandia memilih 'Yes' alias merdeka.  

Namun, saat referendum digelar pada 18 September, ICM 'kecele'. Berbeda dari hasil survei lembaga yang tergabung di British Polling Council itu, mayoritas publik Skotlandia justru memilih 'No'. Sebanyak lebih dari 2 juta orang atau sekitar 55,3% pemegang hak pilih, sepakat Skotlandia tetap berada di bawah kuasa Ratu Inggris.  

Melesetnya prediksi ICM kala itu tak terlalu dipersoalkan. Pasalnya, survei yang digelar Survation pada periode yang tak jauh berbeda, memprediksi kemenangan kaum konservatif yang tak ingin Skotlandia merdeka. Hasil sigi Survation hanya terpaut sekitar 1% dari hasil akhir referendum.

Dua tahun berselang, tepatnya pada periode 10-13 Juni, ICM kembali menggelar survei 'bergenre' referendum. Kali itu, Brexit jadi objek survei. ICM sukses memprediksi mayoritas publik Inggris ingin negaranya keluar dari Uni Eropa (UE) sebagaimana hasil referendum pada 23 Juni 2016.

Giliran Survation yang meleset. Hasil sigi Survation yang digelar hanya beberapa hari sebelum referendum menunjukkan, 51% responden ingin Inggris tetap menjadi bagian dari UE. Kegagalan Survation meramal nasib Inggris di UE juga diikuti sejumlah lembaga survei kredibel lainnya, semisal ORB, Populus, Ipsos Mori, YouGov, dan Comres.