Politik identitas dinilai lebih brutal di Pemilu 2019

Politik identitas kerap digunakan karena efektif dalam mendongkrak elektabilitas.

Layar menyiarkan video Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab saat kampanye akbar pasangan capres-cawapre nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (7/4). /Antara Foto

Politik identitas sebagai strategi pemenangan masih marak digunakan dalam kontestasi elektoral. Menurut pengamat intelijen dan keamanan Stanislaus Riyanta, politik identitas bahkan cenderung lebih brutal penggunaannya di Pemilu 2019. 

"Ini pemilu yang menurut saya cukup brutal kontennya. Kita bisa membandingkan dengan pemilu sebelumnya. Ya, dulu muncul politik identitas, tapi tidak separah ini," ujarnya dalam sebuah diskusi di Upnormal Roaster Coffe, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (9/4).

Penggunaan politik identitas, lanjut Riyanta, bahkan dipertontonkan para kandidat yang bertarung di Pilpres 2019. Ia memandang para kandidat saling sikut demi mendapat predikat paling Islami. "Secara tak langsung lawannya diasosiakan tidak Islam," ujar dia. 

Lebih jauh, Riyanta berharap penyelenggara pemilu bisa mengerem penggunaan politik identitas dalam kontestasi elektoral. Ia khawatir penggunaan politik identitas sebagai strategi pemenangan bakal melahirkan konflik horizontal. "Konfliknya akan sulit dikendalikan," imbuh dia. 

Hal senada juga disampaikan peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Adjie Alfaraby. Menurut Adjie, politik identitas kerap digunakan dalam perebutan kekuasaan karena efektif.