Assam, negara bagian yang berbatasan langsung dengan Bangladesh sepanjang 260 kilometer, sudah lama menjadi titik panas ketegangan identitas dan migrasi.
Di tengah malam yang sunyi, Khairul Islam—mantan guru sekolah negeri berusia 51 tahun—dibangunkan oleh ketukan di pintu. Polisi datang tanpa peringatan, membawa surat keputusan lama yang telah menghantui hidupnya sejak 2016. Ia dinyatakan sebagai "orang asing", bukan warga negara India, meskipun lahir dan besar di Assam.
Ia sempat mengira masa-masa terburuk telah lewat setelah bebas dari pusat detensi pada 2020. Tapi hari itu, 23 Mei, menjadi awal dari mimpi buruk yang lain. Ia digiring kembali, kali ini bersama 31 orang lain. Mata mereka ditutup, tangan diikat, dan mereka dikawal dalam kendaraan menuju perbatasan India-Bangladesh.
“Kami tidak tahu ke mana akan dibawa,” ujar Khairul. “Setelah itu kami dimasukkan ke truk, dan tiba-tiba sudah didorong melewati batas negara. Malam itu gelap, dan kami hanya berjalan, menyusuri jalan lurus di negeri yang asing bagi kami.”
Khairul adalah satu dari 303 orang yang dideportasi dari negara bagian Assam sejak Mei lalu. Deportasi ini merupakan bagian dari langkah agresif pemerintah India terhadap orang-orang yang dinyatakan sebagai imigran ilegal—terutama yang disebut berasal dari Bangladesh.
Namun, di balik angka-angka itu, ada kehidupan yang tercerabut. Banyak dari mereka adalah warga yang telah tinggal di India selama beberapa dekade, memiliki rumah, tanah, dan keluarga di sana. Tapi itu tak cukup untuk melindungi mereka dari sistem yang, menurut aktivis HAM, kerap berlaku sewenang-wenang.