close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
India. Foto: Ist
icon caption
India. Foto: Ist
Peristiwa
Selasa, 10 Juni 2025 22:06

Di Assam, India mengusir ratusan 'warganya' sendiri ke Bangladesh

Assam, negara bagian yang berbatasan langsung dengan Bangladesh sepanjang 260 kilometer, sudah lama menjadi titik panas ketegangan identitas dan migrasi.
swipe

Di tengah malam yang sunyi, Khairul Islam—mantan guru sekolah negeri berusia 51 tahun—dibangunkan oleh ketukan di pintu. Polisi datang tanpa peringatan, membawa surat keputusan lama yang telah menghantui hidupnya sejak 2016. Ia dinyatakan sebagai "orang asing", bukan warga negara India, meskipun lahir dan besar di Assam.

Ia sempat mengira masa-masa terburuk telah lewat setelah bebas dari pusat detensi pada 2020. Tapi hari itu, 23 Mei, menjadi awal dari mimpi buruk yang lain. Ia digiring kembali, kali ini bersama 31 orang lain. Mata mereka ditutup, tangan diikat, dan mereka dikawal dalam kendaraan menuju perbatasan India-Bangladesh.

“Kami tidak tahu ke mana akan dibawa,” ujar Khairul. “Setelah itu kami dimasukkan ke truk, dan tiba-tiba sudah didorong melewati batas negara. Malam itu gelap, dan kami hanya berjalan, menyusuri jalan lurus di negeri yang asing bagi kami.”

Khairul adalah satu dari 303 orang yang dideportasi dari negara bagian Assam sejak Mei lalu. Deportasi ini merupakan bagian dari langkah agresif pemerintah India terhadap orang-orang yang dinyatakan sebagai imigran ilegal—terutama yang disebut berasal dari Bangladesh.

Namun, di balik angka-angka itu, ada kehidupan yang tercerabut. Banyak dari mereka adalah warga yang telah tinggal di India selama beberapa dekade, memiliki rumah, tanah, dan keluarga di sana. Tapi itu tak cukup untuk melindungi mereka dari sistem yang, menurut aktivis HAM, kerap berlaku sewenang-wenang.

Asal usul yang dipertanyakan

Assam, negara bagian yang berbatasan langsung dengan Bangladesh sepanjang 260 kilometer, sudah lama menjadi titik panas ketegangan identitas dan migrasi. Banyak keluarga Muslim Bengali di sana hidup dengan sejarah yang rumit—berakar di kedua sisi perbatasan yang dulunya tak pernah eksis sebelum pembagian wilayah pada abad ke-20.

Kini, mereka menjadi sasaran klasifikasi sebagai "orang asing", sebuah status hukum yang bisa membuat siapa pun kehilangan segalanya.

“Banyak dari mereka tidak mampu melawan keputusan pengadilan karena faktor ekonomi,” kata Aman Wadud, pengacara HAM di Assam yang kini bergabung dengan partai oposisi Kongres. “Mereka terlalu miskin untuk naik banding, dan terlalu takut untuk bicara.”

Sebagian aktivis bahkan menuding bahwa proses ini secara tidak proporsional menargetkan Muslim, meski pemerintah Assam tak memberikan komentar atas tudingan tersebut.
Deportasi atau Pengusiran?

Kepala Menteri Assam, Himanta Biswa Sarma, mengakui bahwa proses ini didorong oleh tekanan dari Mahkamah Agung India. Dalam sebuah pernyataan kepada parlemen negara bagian, ia mengatakan, “Kami telah mengusir 303 orang. Ini baru permulaan. Kami akan lebih aktif dan proaktif demi menyelamatkan negara.”

Namun, dalam praktiknya, tidak semua deportasi berjalan mulus secara hukum. Empat orang, termasuk Khairul Islam, sempat dipulangkan kembali ke India setelah diketahui bahwa kasus mereka masih diproses di pengadilan.

“Ada kepanikan di lapangan—lebih besar dari sebelumnya,” kata Wadud.
Di Luar Assam, Jejak yang Sama

Langkah Assam tampaknya menjadi preseden. Di kota Ahmedabad, Gujarat, polisi mengklaim telah mengidentifikasi lebih dari 250 orang yang dianggap sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.

"Proses deportasi mereka sedang berlangsung," ujar perwira polisi senior, Ajit Rajian.

Di sisi lain, pemerintah Bangladesh tampak berhati-hati. Konsultan luar negeri Bangladesh, Touhid Hossain, mengonfirmasi bahwa negaranya telah menerima orang-orang dari India, tetapi belum ada pernyataan resmi yang tegas tentang kerja sama jangka panjang soal deportasi massal ini.

Di Garis antara dua negara

Bagi Khairul Islam, pengalaman dideportasi seperti mimpi buruk yang belum usai. Saat akhirnya dipulangkan ke India, ia tak tahu nasib rekan-rekannya yang dideportasi bersamanya.

“Ada tanah kosong di antara dua negara, dan di sanalah kami berdiri. Sepanjang hari, di bawah terik matahari,” kenangnya lirih.

Malam itu, di perbatasan yang dijaga ketat, Khairul belajar satu hal: status kewarganegaraan bisa menjadi sesuatu yang rapuh, terutama jika Anda berada di tengah pusaran identitas, politik, dan sejarah yang saling bertabrakan.(telegraphindia)

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan