close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Foto: Reuters
icon caption
Ilustrasi. Foto: Reuters
Peristiwa
Selasa, 01 Juli 2025 20:34

RUU Anti-Hoaks di India: Antara lindungi publik atau bungkam kritik?

Banyak pihak mengkhawatirkan bahwa RUU ini bisa disalahgunakan.
swipe

Di tengah maraknya penyebaran hoaks dan informasi menyesatkan di dunia maya, pemerintah negara bagian Karnataka, India, membuat gebrakan baru: merancang undang-undang yang akan menjatuhkan hukuman penjara hingga tujuh tahun bagi siapa pun yang menyebarkan berita palsu, konten anti-perempuan, hingga takhayul di internet. Tapi, langkah ini justru menuai kecemasan—terutama dari para aktivis kebebasan berekspresi.

Teknologi Maju, Regulasi Ketat
Karnataka bukanlah negara bagian sembarangan. Wilayah ini menjadi rumah bagi Bengaluru, pusat teknologi India yang menaungi kantor berbagai perusahaan raksasa dunia. Maka tak heran, ketika rancangan undang-undang (RUU) anti-hoaks ini muncul, dunia teknologi langsung memberi perhatian.

RUU tersebut bernama “Rancangan Undang-Undang Larangan Informasi Palsu dan Misinformasi Karnataka”, terdiri dari 11 halaman. Namun, isinya belum menjelaskan secara rinci apa yang sebenarnya dimaksud dengan “berita palsu” atau “anti-feminis”. Nantinya, akan dibentuk pengadilan khusus dan badan pengawas untuk menentukan pelanggaran.

Banyak pihak mengkhawatirkan bahwa RUU ini bisa disalahgunakan. “Misinformasi itu sifatnya subjektif. Siapa saja yang menggunakan internet bisa terjerat aturan ini, bahkan hanya karena mengunggah meme atau melakukan kesalahan kecil,” seorang aktivis digital dari New Delhi, Apar Gupta.

Kekhawatiran lainnya adalah kemungkinan penegakan hukum yang tidak konsisten, atau bahkan selektif, terhadap kelompok tertentu. Ini bisa berdampak pada kebebasan masyarakat untuk berbicara, berpendapat, bahkan bercanda di media sosial.

Pemerintah Bilang: Ini Bukan untuk Membungkam
Pemerintah Karnataka menyatakan bahwa RUU ini masih akan dibuka untuk konsultasi publik, sehingga masyarakat bisa memberi masukan. Menteri Teknologi Informasi Karnataka, Priyank Kharge, mengatakan bahwa ada banyak informasi yang salah beredar soal RUU ini, dan bahwa tujuan utamanya adalah untuk mengatasi disinformasi digital yang semakin marak, terutama yang berpotensi memicu konflik sosial.

Namun, hingga kini belum ada penjelasan lebih lanjut soal bagaimana pemerintah akan membedakan antara hoaks yang berbahaya dengan sekadar opini pribadi atau kesalahan informasi yang tidak disengaja.

Perusahaan Teknologi & Media: Jadi Bingung Aturan?
Bagi perusahaan teknologi, munculnya aturan lokal seperti ini bisa membuat tantangan baru. Aman Taneja, pengacara kebijakan digital, mengatakan bahwa langkah Karnataka berisiko menciptakan “tumpang tindih aturan” yang menyulitkan platform digital menjalankan kewajiban secara konsisten.

Sementara itu, media India juga ikut bersuara. Surat kabar Deccan Herald bahkan menulis tajuk dengan judul tajam:

“Solusi yang Lebih Buruk dari Masalahnya”, dan menyerukan agar ketentuan hukuman penjara dihapus dari RUU tersebut.

Masalah Lama, Solusi Baru?
India sebenarnya sudah lama bergulat dengan masalah berita palsu. Pemerintah pusat bahkan mendirikan Unit Pemeriksa Fakta sejak tahun 2019, dan terus berdiskusi dengan perusahaan seperti Google agar lebih cepat menghapus konten hoaks, terutama selama masa pemilu.

Dengan jumlah pengguna internet yang nyaris satu miliar orang, dan masyarakat yang beragam etnis dan agama, informasi palsu memang bisa memicu konflik serius di India. Namun, langkah memberantas hoaks tidak boleh sampai melukai hak-hak dasar warganya.(reuters)

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan