Evaluasi kinerja Kabinet Merah Putih 2025 di tengah pengetatan fiskal, menyoroti capaian, risiko, dan rekomendasi perbaikan tata kelola.
Tahun 2025 menandai sebuah babak baru dalam sejarah tata kelola pemerintahan Indonesia, di mana Kabinet Merah Putih di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dipaksa untuk menavigasi sebuah lanskap kebijakan yang kontradiktif. Di satu sisi, terdapat ambisi besar untuk mewujudkan delapan agenda pembangunan yang dikenal sebagai Asta Cita, namun di sisi lain, realitas ekonomi menuntut adanya efisiensi anggaran yang sangat ketat melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi APBN dan APBD. Sepanjang tahun ini, publik menyaksikan sebuah eksperimen besar dalam manajemen negara: bagaimana sebuah kabinet dengan struktur yang cenderung besar atau “gemuk” mampu menggerakkan roda pembangunan di tengah pemangkasan anggaran operasional dan dana transfer ke daerah.
Fenomena efisiensi ini bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan sebuah restrukturisasi paradigma belanja negara yang menyasar 15 pos pengeluaran utama, mulai dari perjalanan dinas, biaya rapat, hingga jasa konsultan. Dampaknya sangat terasa pada penataan ulang berbagai program di tingkat pusat maupun daerah. Dalam konteks yang penuh tekanan ini, muncul beberapa menteri yang dianggap piawai dalam menyiasati keterbatasan tanpa mengorbankan esensi dari program-program prioritas. Laporan ini akan membedah secara mendalam orkestrasi kinerja empat menteri utama yang membidangi: Keuangan, Pertanian, Dalam Negeri, dan Kejaksaan Agung, serta mengevaluasi plus-minus capaian mereka, serta mengidentifikasi menteri-menteri berprestasi lainnya, dan memberikan catatan kritis bagi keberlanjutan kabinet ke depan.
Transformasi arsitektur keuangan: Agresivitas dan risiko Purbaya Yudhi Sadewa
Penunjukan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani Indrawati pada September 2025 membawa pergeseran gaya kepemimpinan fiskal yang sangat mencolok.
Jika era sebelumnya dikenal dengan prinsip kehati-hatian fiskal (fiscal prudence) yang ketat, Purbaya memperkenalkan pendekatan Keynesianisme yang diintervensi negara (state-intervened Keynesianism), di mana instrumen fiskal digunakan secara agresif untuk menciptakan permintaan agregat dan mendorong pertumbuhan ekonomi hingga target 6–8%.