close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Peneliti Manajemen Iptekin, Hadi Supratikta. Foto dokumentasi.
icon caption
Peneliti Manajemen Iptekin, Hadi Supratikta. Foto dokumentasi.
Peristiwa
Senin, 29 Desember 2025 17:38

Dinamika orkestrasi Kabinet Merah Putih 2025

Evaluasi kinerja Kabinet Merah Putih 2025 di tengah pengetatan fiskal, menyoroti capaian, risiko, dan rekomendasi perbaikan tata kelola.
swipe

Tahun 2025 menandai sebuah babak baru dalam sejarah tata kelola pemerintahan Indonesia, di mana Kabinet Merah Putih di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dipaksa untuk menavigasi sebuah lanskap kebijakan yang kontradiktif. Di satu sisi, terdapat ambisi besar untuk mewujudkan delapan agenda pembangunan yang dikenal sebagai Asta Cita, namun di sisi lain, realitas ekonomi menuntut adanya efisiensi anggaran yang sangat ketat melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi APBN dan APBD. Sepanjang tahun ini, publik menyaksikan sebuah eksperimen besar dalam manajemen negara: bagaimana sebuah kabinet dengan struktur yang cenderung besar atau “gemuk” mampu menggerakkan roda pembangunan di tengah pemangkasan anggaran operasional dan dana transfer ke daerah.

Fenomena efisiensi ini bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan sebuah restrukturisasi paradigma belanja negara yang menyasar 15 pos pengeluaran utama, mulai dari perjalanan dinas, biaya rapat, hingga jasa konsultan. Dampaknya sangat terasa pada penataan ulang berbagai program di tingkat pusat maupun daerah. Dalam konteks yang penuh tekanan ini, muncul beberapa menteri yang dianggap piawai dalam menyiasati keterbatasan tanpa mengorbankan esensi dari program-program prioritas. Laporan ini akan membedah secara mendalam orkestrasi kinerja empat menteri utama yang membidangi: Keuangan, Pertanian, Dalam Negeri, dan Kejaksaan Agung, serta mengevaluasi plus-minus capaian mereka, serta mengidentifikasi menteri-menteri berprestasi lainnya, dan memberikan catatan kritis bagi keberlanjutan kabinet ke depan.

Transformasi arsitektur keuangan: Agresivitas dan risiko Purbaya Yudhi Sadewa

Penunjukan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani Indrawati pada September 2025 membawa pergeseran gaya kepemimpinan fiskal yang sangat mencolok.

Jika era sebelumnya dikenal dengan prinsip kehati-hatian fiskal (fiscal prudence) yang ketat, Purbaya memperkenalkan pendekatan Keynesianisme yang diintervensi negara (state-intervened Keynesianism), di mana instrumen fiskal digunakan secara agresif untuk menciptakan permintaan agregat dan mendorong pertumbuhan ekonomi hingga target 6–8%.

Injeksi likuiditas dan stimulus sektor swasta

Salah satu langkah paling sentral yang diambil Purbaya adalah penyuntikan dana sebesar Rp200 triliun ke Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), yang kemudian ditambah lagi sebesar Rp76 triliun melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 276 Tahun 2025. Dana ini ditarik dari total uang pemerintah yang mengendap di Bank Indonesia sebesar Rp425 triliun. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk mengatasi kemacetan transmisi kredit dan memastikan bahwa likuiditas di sistem perbankan cukup kuat untuk mendukung sektor produktif dan UMKM.

Kebijakan Menkeu, target, dan mekanisme utama
Kebijakan Strategis Menkeu Purbaya 2025 Jumlah/Target Mekanisme Utama
Injeksi Likuiditas Perbankan Rp276 Triliun Penempatan dana SiLPA di Bank Himbara
Target Pertumbuhan Ekonomi 6,0%–6,5% Penggabungan mesin fiskal dan swasta
Defisit APBN (Per Oktober 2025) 2,02% PDB Optimalisasi belanja barang yang tersisa
Bunga Penempatan Dana di Bank 3,8% 80% dari suku bunga kebijakan BI

Langkah ini dipuji sebagai upaya berani untuk “menghidupkan dua mesin ekonomi”, yakni belanja pemerintah dan kredit swasta. Pasar modal merespons positif kebijakan ini dengan penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang menunjukkan bahwa manajemen ekspektasi yang dijalankan Purbaya berhasil membangun kepercayaan investor. Namun, dari sisi teknis, kebijakan ini memicu perdebatan mengenai batas wilayah antara otoritas fiskal dan moneter. Penempatan dana pemerintah di bank umum dipandang dari tinjauan ekonom sebagai intervensi yang dapat mengikis independensi Bank Indonesia dan menciptakan risiko moral hazard pada perbankan.

Plus-minus kinerja fiskal di tengah tekanan ekonomi

Plus dari kinerja Purbaya terletak pada kemampuannya untuk tetap optimistis di tengah kondisi ekonomi yang “tidak normal” hingga akhir tahun 2025. Ia berhasil menurunkan tingkat pengangguran menjadi 4,76% pada Februari 2025 walau Purbaya Yudhi Sadewa baru resmi dilantik sebagai Menteri Keuangan oleh Presiden Prabowo Subianto pada hari Senin, tanggal 8 September 2025, yang berarti tingkat pengangguran tersebut merupakan angka terendah sejak krisis 1998, serta menekan angka kemiskinan hingga 8,47% pada Maret 2025. Purbaya juga menunjukkan ketegasan dalam melakukan efisiensi internal kementerian dengan memantau penyerapan belanja Kementerian/Lembaga (K/L) dan mengalihkan dana yang tidak terserap ke program yang lebih mendesak.

Namun, catatan negatif muncul dari sisi penerimaan negara. Sepanjang 2025, kinerja pajak mengalami kontraksi yang cukup dalam, terutama pada PPh dan PPN. Purbaya berdalih bahwa dunia usaha sedang tertekan sehingga tidak bijaksana untuk memaksakan kenaikan tarif pajak atau intensifikasi yang agresif. Meskipun demikian, penurunan realisasi pajak ini mempersempit ruang fiskal dan meningkatkan ketergantungan pada pembiayaan utang. Selain itu, kebijakan agresif Purbaya juga berisiko terhadap nilai tukar; tercatat rupiah mengalami depresiasi yang cukup signifikan terhadap Euro (14,42%) dan Dolar Singapura (8,17%) sepanjang 2025.

Kedaulatan pangan dan akselerasi swasembada: Strategi Amran Sulaiman

Di sektor pangan, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman tampil sebagai figur yang paling agresif dalam mewujudkan ambisi swasembada nasional. Amran berhasil mempercepat target swasembada beras dan jagung yang semula direncanakan dalam empat tahun menjadi hanya satu tahun, dengan target pencapaian penuh pada akhir Desember 2025. Keberhasilan ini didukung oleh stok beras nasional yang stabil di atas 4 juta ton, pencapaian tertinggi dalam 57 tahun terakhir.

Instrumen harga dan perlindungan petani

Strategi utama Amran dalam menjaga stabilitas pangan adalah dengan menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah yang menguntungkan petani, yakni sebesar Rp6.500 per kilogram. Langkah ini merupakan respons terhadap temuan lapangan di mana harga gabah sempat jatuh ke level Rp5.500 yang berpotensi menyebabkan kerugian petani hingga Rp25 triliun. Dengan menaikkan HPP, Amran memastikan bahwa insentif untuk berproduksi tetap tinggi, yang tercermin pada Nilai Tukar Petani (NTP) yang melonjak hingga 124,36.

Amran juga dikenal sangat vokal dalam menentang impor beras pada tahun 2025, sebuah kebijakan yang dianggap berani mengingat tekanan pasar global. Ia juga melakukan modernisasi infrastruktur pertanian dengan membangun 30 titik pabrik pakan untuk peternak kecil dengan total anggaran Rp20 triliun. Untuk menjamin akuntabilitas, Amran bahkan membuka kanal WhatsApp “Lapor Pak Amran” sebagai sarana pengaduan langsung dari petani.

Kritik kualitas dan konflik etika jurnalistik

Meskipun sukses dalam hal kuantitas dan stok nasional, kinerja Amran dihujani kritik tajam mengenai standar kualitas. Kebijakan Amran yang mewajibkan Bulog menyerap gabah petani “tanpa tawar” dan tanpa menimbang mutu secara ketat demi mengejar target serapan nasional memicu kekhawatiran akan menumpuknya beras berkualitas rendah di gudang-gudang pemerintah. Isu ini menjadi bola salju ketika media menerbitkan laporan bertajuk “Poles-Poles Beras Busuk”.

Indikator dan capaian
Indikator Kinerja Pangan 2025 Capaian Status / Referensi
Stok Beras Nasional > 4 Juta Ton Prestasi Tertinggi 57 Tahun
Nilai Tukar Petani (NTP) 124,36 Melampaui Target Pemerintah
Produksi Beras (Estimasi) 34,77 Juta Ton Naik 13,54% dibanding 2024
Impor Beras 2025 0 (Nol) Kebijakan Penghentian Impor

Konflik antara Mentan Amran dengan media berakhir di pengadilan dengan gugatan perdata sebesar Rp200 miliar dari pihak Amran. Hal ini menjadi catatan negatif dari sisi komunikasi publik dan kebebasan pers. Pengamat/peneliti menilai bahwa sikap antikritik terhadap kebijakan publik dapat menjadi preseden buruk bagi iklim demokrasi di Kabinet Merah Putih. Plus dari Amran adalah keberanian eksekusi dan keberpihakan pada petani, namun minusnya terletak pada pengabaian standar mutu teknis dan gaya kepemimpinan yang konfrontatif terhadap media.

Sinkronisasi pusat-daerah dan kendali inflasi: Peran Tito Karnavian

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memegang mandat yang sangat krusial dalam memastikan bahwa efisiensi anggaran di tingkat pusat tidak menghentikan roda pembangunan di daerah. Tito berperan sebagai katalisator antara pemerintah pusat yang memangkas Transfer ke Daerah (TKD) dengan pemerintah daerah yang harus menjalankan program-program strategis nasional.

Pengendalian inflasi dan evaluasi kinerja daerah

Sepanjang 2025, Tito secara rutin memimpin Rapat Koordinasi (Rakor) Pengendalian Inflasi Daerah setiap hari Senin atau Selasa untuk menjaga stabilitas ekonomi agar daya beli masyarakat tetap terjaga dan pertumbuhan ekonomi berlangsung secara berkelanjutan. Melalui mekanisme ini, Tito mampu memantau pergerakan harga komoditas pangan di seluruh pelosok Indonesia dan memberikan teguran langsung kepada kepala daerah yang inflasinya berada di atas rata-rata nasional. Per Oktober 2025, inflasi tahunan year-on-year (YoY) terjaga di angka 2,86%, yang dinilai aman bagi produsen maupun konsumen.

Tito juga menginisiasi kebijakan pengalihan TKD agar lebih efisien. Ia mendorong daerah untuk memangkas biaya perjalanan dinas dan rapat, lalu mengalihkannya ke program yang langsung menyentuh rakyat, seperti Program Sekolah Rakyat Rintisan dan pemberian bantuan sosial. Ia juga menekankan pentingnya optimalisasi pendapatan asli daerah (PAD) melalui kreativitas birokrasi tanpa memberatkan masyarakat.

Implementasi MBG, Koperasi Desa, dan 3 Juta Rumah

Tantangan terbesar Tito adalah memastikan program “Quick Wins” seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Program 3 Juta Rumah terlaksana di daerah meskipun anggaran terbatas. Dalam Program 3 Juta Rumah, Tito menginstruksikan pemerintah daerah untuk menyediakan lahan gratis dari aset negara yang tidak terpakai dan menghapuskan retribusi perizinan seperti Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Minus dari kinerja Tito adalah masih kuatnya ketergantungan daerah pada dana pusat, sehingga kebijakan pemotongan TKD sempat menimbulkan kegamangan di banyak pemerintah daerah. Selain itu, koordinasi lintas kementerian dalam program MBG masih terlihat tumpang tindih dalam hal pendataan, yang menjadi beban tambahan bagi aparat desa dan kecamatan di bawah koordinasi Kementerian Dalam Negeri. Namun, plusnya adalah kemampuan Tito menjaga stabilitas politik-keamanan dan inflasi di tengah masa transisi yang penuh tekanan.

Penegakan hukum dan penyelamatan aset: Gebrakan Jaksa Agung

Kejaksaan Agung di bawah komando Jaksa Agung saat ini menjadi institusi penegak hukum yang paling bersinar dalam hal pengungkapan kasus korupsi dengan nilai kerugian fantastis. Sepanjang lima tahun terakhir, panggung pemberantasan korupsi seolah bergeser dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Korps Adhyaksa, dengan fokus pada kebocoran negara di sektor sumber daya alam dan industri keuangan.

Perburuan Mohammad Riza Chalid dan kasus Petral

Gebrakan terbaru yang paling menyita perhatian publik adalah penetapan Mohammad Riza Chalid sebagai tersangka dan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) terkait kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (kasus Petral) periode 2009–2015 dan 2018–2023. Riza Chalid, yang dijuluki “The Gasoline Godfather”, diduga merugikan negara melalui skema impor minyak yang merugikan keuangan negara hingga ratusan triliun rupiah.

Kasus mega korupsi, estimasi kerugian negara, dan tersangka
Kasus Mega Korupsi (Kejagung 2025) Estimasi Kerugian Negara Status / Tersangka Utama
Tata Kelola Timah PT Timah Tbk Rp300 Triliun Penahanan Dirut dan Swasta
Tata Kelola Minyak Pertamina Rp285 Triliun Riza Chalid (DPO)
Korupsi Asabri Rp22,7 Triliun Vonis inkrah dan penyitaan aset
Korupsi Jiwasraya Rp16,8 Triliun Pemulihan aset terus berlanjut
Fasilitas Ekspor CPO (Minyak Goreng) > Rp10 Triliun Masih berlanjut di persidangan

Kejaksaan Agung telah melakukan tindakan tegas dengan menyita berbagai aset milik Riza Chalid, termasuk rumah mewah di Jakarta Selatan dan tanah di berbagai lokasi. Selain itu, paspor Riza Chalid telah dicabut, menjadikannya warga negara ilegal di luar negeri dan memaksanya hanya memiliki satu jalur keluar, yakni menyerahkan diri kembali ke Indonesia. Penangkapan Kerry Adrianto Riza (anak Riza Chalid) juga menjadi pintu masuk bagi penyidik untuk membongkar jaringan beneficial ownership dalam bisnis migas tersebut.

Plus-minus penegakan hukum Adhyaksa

Plus dari kinerja Jaksa Agung adalah keberanian menyentuh aktor-aktor yang selama ini dianggap “kebal hukum” serta fokus pada pemulihan kerugian ekonomi negara (economic recovery), bukan sekadar pemidanaan badan. Kejaksaan juga diapresiasi karena mampu mencegah kebocoran negara lebih lanjut melalui pendampingan proyek strategis nasional.

Minusnya adalah masih banyaknya tersangka utama yang belum tertangkap meskipun statusnya sudah DPO dan Red Notice telah diajukan, seperti dalam kasus Riza Chalid yang terdeteksi berpindah-pindah dari Singapura ke Malaysia. Selain itu, terdapat kekhawatiran mengenai harmonisasi dengan KPK agar tidak terjadi duplikasi penyidikan yang dapat melemahkan efektivitas penegakan hukum secara keseluruhan.

Catatan kritis dan “cela” dalam implementasi program

Tahun penuh efisiensi ini tidak berjalan tanpa cacat. Terdapat beberapa catatan penting yang menjadi “cela” dalam pelaksanaan program pemerintah yang harus diperbaiki ke depan.

Paradoks kabinet gemuk dan efisiensi anggaran

Terdapat kritik tajam mengenai kontradiksi antara kebijakan efisiensi anggaran dengan postur kabinet yang membengkak hingga 49 kementerian. Pengamat/peneliti menilai bahwa biaya birokrasi dari kabinet yang gemuk ini justru menyedot anggaran yang seharusnya bisa dialokasikan untuk program sosial. Dari forum diskusi kelompok terpumpun (FGD) di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan bahwa koordinasi lintas sektor masih menjadi titik lemah utama, di mana tumpang tindih kebijakan sering terjadi karena banyaknya lembaga baru yang fungsinya belum sepenuhnya jelas.

Realitas program 3 Juta Rumah dan MBG

Program 3 Juta Rumah menghadapi tantangan berat berupa ketiadaan peta jalan (roadmap) yang jelas dan belum adanya prototipe rumah yang tahan gempa dan tahan kebencanaan (termasuk tahan api), serta anggaran yang sangat minim. Hingga akhir 2025, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) hanya dialokasikan anggaran sekitar Rp5,27 triliun, yang sangat tidak mencukupi untuk target masif tersebut. Akibatnya, realisasi pembangunan rumah baru masih jauh dari target, dengan kendala utama pada mahalnya harga lahan dan rumitnya perizinan di tingkat daerah.

Demikian pula dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Meskipun telah dimulai pada 6 Januari 2025, anggaran Rp71 triliun yang dialokasikan dalam APBN hanya mencukupi hingga pertengahan tahun. Penurunan anggaran per paket makan dari rencana awal hingga jatuh ke angka Rp10.000 mencerminkan betapa ketatnya tekanan fiskal. Tanpa tambahan dana sekitar Rp100 triliun, keberlanjutan program ini hingga akhir tahun menjadi pertanyaan besar.

Masalah komunikasi dan transparansi

Beberapa menteri mendapatkan rapor merah dari publik terkait gaya komunikasi dan etika jabatan. Kasus Menteri Desa Yandri Susanto yang menggunakan kop surat kementerian untuk acara pribadi (haul) menjadi contoh lemahnya kontrol administrasi dan etika di awal kabinet. Selain itu, Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia juga mencatatkan sentimen negatif yang tinggi karena pernyataan atau kebijakan yang dinilai kontroversial dan tidak sensitif terhadap kebutuhan publik.

Kesimpulan

Kesimpulannya, kinerja empat menteri utama yang disebutkan (Purbaya, Amran, Tito, dan Jaksa Agung) memang menunjukkan progres yang signifikan dan memuaskan dalam konteks mencapai target sektoral masing-masing di tengah keterbatasan anggaran. Namun, sinergi secara kolektif dalam kabinet masih memerlukan perbaikan besar guna menambal “cela” implementasi yang masih marak ditemukan di lapangan. Keberhasilan Kabinet Merah Putih di tahun-tahun mendatang akan sangat bergantung pada kemampuan mereka bertransformasi dari sekadar “kabinet administratif” menjadi “kabinet eksekutor” yang lincah dan berintegritas.

Rekomendasi untuk Kabinet Merah Putih

  • Memperkuat koordinasi lintas sektor: Perlu ada sinkronisasi data antar kementerian, terutama dalam program MBG dan bantuan sosial, agar tidak terjadi salah sasaran yang memicu pemborosan anggaran.
  • Penyederhanaan birokrasi: Mengingat postur kabinet yang besar, reformasi birokrasi harus dilakukan secara substansial, bukan hanya kosmetik, untuk memastikan rantai komando dari pusat ke daerah berjalan cepat dan efisien.
  • Fokus pada kualitas pertumbuhan: Mengejar angka pertumbuhan 8% tidak boleh mengorbankan aspek lingkungan dan keadilan ekologis. Pemerintah harus memastikan investasi yang masuk adalah investasi hijau yang menciptakan lapangan kerja berkualitas, bukan justru merusak lingkungan alam.
  • Integritas dan keteladanan: Para menteri harus menjaga etika jabatan dan menghindari penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi demi menjaga kepercayaan publik yang saat ini sedang mengalami penurunan.
  • Penyelesaian kasus hukum kakap: Jaksa Agung harus segera menuntaskan perburuan buronan korupsi seperti Riza Chalid untuk membuktikan bahwa penegakan hukum di era Prabowo benar-benar efektif dan tidak hanya menjadi alat pencitraan politik.

img
Hadi Supratikta
Kolomnis
img
sat
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan