Pemangkasan pegawai dan penambahan job desk jadi strategi yang lazim dijalankan perusahaan di tengah merosotnya keuntungan.
Arief Faisal, 28 tahun, sedang gamang. Bekerja sebagai desainer di sebuah agensi kreatif, ia sempat merasa beruntung karena tak terkena PHK saat terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja pada Maret–April 2025. Namun, rasa syukur itu tak bertahan lama.
Kenyatannya pilihan “survival” itu justru menghadirkan penderitaan baru: beban kerja yang melonjak, beban mental dan fisik yang melelahkan. Terbersit di benak Arief untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya.
“Setelah teman-teman saya banyak yang di-PHK, beban kerja saya jadi bertambah karena saya ikut mengerjakan pekerjaan mereka,” ujar Arief saat berbincang dengan Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Meskipun gajinya tetap sama, ia sering kali harus lembur hingga akhir pekan hanya untuk menyelesaikan proyek yang dulu ditangani oleh tim. Arief mengaku memilih untuk bertahan sembari berharap kondisi perekonomian membaik dan perusahaan tempatnya bekerja bisa kembali "sehat".
Selain itu, faktor keluarga juga memberatkan Arief. Ia baru saja menikah dan istrinya sedang hamil. "Jadi, ya dikuat-kuatian aja biar kata aslinya tersiksa," imbuh dia.