Aroma kartel politik di balik revisi UU KPK

Usulan revisi UU KPK menunjukkan bahwa wacana antikorupsi yang kerap digaungkan elite-elite politik hanya nyaring di atas podium.

Selembar kain hitam yang menutupi logo KPK tersibak saat berlangsungnya aksi dukungan untuk komisi anti rasywah itu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (10/9). /Antara Foto

Pakar politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mencium aroma kartel politik dalam rencana DPR merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). 

Menurut Syamsuddin, digulirkannya usulan revisi UU KPK menunjukkan bahwa wacana antikorupsi yang kerap digaungkan elite-elite politik hanya nyaring di atas podium. 

"Kartel politik itu biasanya diikat dalam kepentingan jangka pendek. (Kartel dibentuk) demi mencari sesuap berlian," ujar Syamsuddin dalam konferensi pers di Gedung Widya Graha LIPI, Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Selasa (10/9).

Syamsuddin merupakan satu dari 146 civitas LIPI yang menolak revisi UU KPK. Menurut dia, KPK terancam kehilangan marwah jika usul revisi direalisasikan. 

Dia mencontohkan salah satu poin dalam draf revisi yang berencana mengubah KPK menjadi lembaga bagian dari eksekutif. "Ini suatu degradasi luar bisa. Kalau yang lama, KPK itu lembaga negara, bukan pemerintah pusat," ucap dia.