Balik badan sejumlah fraksi soal RUU Pemilu sarat kepentingan politik

Revisi UU Pemilu dinilai sedang di ujung tanduk antara diteruskan atau tidak.

Ilustrasi pemungutan suara pilkada/Foto Antara

Sikap sejumlah fraksi yang balik badan terhadap Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu dinilai sarat kepentingan politik. Penilaian itu, dilandasi atas abainya sejumlah aspirasi publik yang meminta pelaksanaan pilkada dapat digelar pada 2022 dan 2023.

"Saya kira sih jelas sekali bahwa urusan revisi UU Pemilu yang kini di ujung tanduk antara mau diteruskan atau tidak, itu semuanya murni bicara tentang kepentingan politik pragmatis saja. Tak ada sedikitpun urusan dengan keinginan mayoritas warga sebagaimana ditunjukan melalui survei Indikator Politik di mana mayoritas responden menginginkan Pilkada 2022 dan 2023 tetap dilaksanakan," kata peneliti Formappi Lucius Karus, saat dihubungi, Rabu (10/2).

Menurut dia, aspirasi publik ihwal normalisasi pilkada ditujukan untuk menyelamatkan dan memastikan pemerintahan daerah (pemda) sebagai pelayan warga. Akan tetapi, kata Lucius, kalkulasi menang kalah jelas tergambar pada sikap parpol yang ingin melaksanakan pilkada serentak dengan pemilu nasional.

"Tentu saja selain kalkulasi politik praktis itu, fakta bahwa DPR sebelumnya sudah menyepakati waktu penyelenggaraan pilkada serentak pada UU Pilkada juga menjadi alasan untuk mendukung pilkada serentak itu, karena sejak ditetapkan dalam UU Pilkada, ketentuan itu belum juga dieksekusi," ucapnya.

Alasan kepentingan politik pragmatis, kata Lucius semakin kuat, dengan melihat sikap partai yang tidak memberikan catatan terhadap RUU tersebut saat pembahasan daftar RUU Prioritas 2021 di Baleg.