Bayang-bayang krisis ekologi dalam Omnibus Law Cipta Kerja

Pasal-pasal di draf Omnibus Law Cipta Kerja dianggap mengabaikan prinsip pelestarian lingkungan hidup.

Omnibus Law Ciptaker berpotensi memicu krisis ekologi. Ilustrasi Alinea.id/Oky Diaz

Gelombang aksi unjuk rasa mulai mengalir menolak rencana pemerintah dan DPR membahas rancangan Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker). Tak hanya digelar kelompok buruh, kalangan mahasiswa juga kini telah turun ke jalan guna menolak rancangan beleid kontroversial itu. 

Meski begitu, pemerintah sepertinya bakal jalan terus dengan rencana tersebut. Pertengahan Februari lalu, surat presiden (surpres) untuk memulai pembahasan RUU Ciptaker di parlemen telah diserahkan kepada Ketua DPR Puan Maharani. Lobi-lobi agar publik mendukung beleid itu juga terus dilakukan. 

Upaya mengendorkan penolakan dari publik, misalnya, dilakukan oleh Kantor Staf Presiden (KSP). Dengan alasan meminta masukan dari masyarakat sipil, KSP mengundang 16 lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk rapat di kantor KSP, Jakarta Pusat, Selasa (3/3) lalu. Namun, hanya empat LSM yang hadir dalam rapat tersebut. 

Salah satu yang lantang menolak hadir ialah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Dalam surat terbuka yang ditujukan kepada Kepala KSP Moeldoko pekan lalu, Walhi menyatakan bahwa RUU Ciptaker dibuat hanya untuk melindungi investasi dengan membabat regulasi-regulasi yang dianggap menghambat. 

"Dan bukan didasari pada semangat untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan yang bertujuan melindungi hak-hak warga negara. Selanjutnya, WALHI berpandangan muatan dalam RUU ini memperlihatkan komitmen buruk Presiden terhadap perlindungan lingkungan hidup," tulis Walhi.