Burhanuddin Muhtadi: Politik uang eksis karena sistem pemilu

Pilkada Serentak 2020 memunculkan kasus politik uang yang meningkat dari pilkada sebelumnya. Mengapa politik uang terus ada?

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia dan penulis buku Kuasa Uang, Burhanuddin Muhtadi./Dokumentasi Burhanuddin Muhtadi.

Hingga Kamis (17/12) Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat sebanyak 262 dugaan politik uang yang sudah di pengkajian dan penyidikan, sebanyak 197 laporan masyarakat, dan 65 kasus temuan Bawaslu dalam Pilkada Serentak 2020. Jumlah ini meningkat pesat dibandingkan Pilkada Serentak 2018, yang hanya 35 kasus.

Menurut Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, pukulan ekonomi akibat pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor maraknya praktik politik uang dalam Pilkada Serentak 2020. Penulis buku Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru (2020) ini juga menyebut, sistem pemilihan umum (pemilu) sebagai biang kerok maraknya politik uang.

Berikut ini wawancara reporter Alinea.id dengan Burhanuddin Muhtadi yang dilakukan pada Kamis (24/12).

Bagaimana relevansi politik uang menurut Anda? Masihkah penting?

Dari total pemilih yang mengaku akan memberikan suara dalam pemilihan, hanya 10,2% yang menerima tawaran politik uang. Sebagain besar pemilih yang menerima, memilih sesuai pilihan politik masing-masing. Jadi, benar mereka yang mengatakan bahwa efektivitas politik uang tidak besar.