Desakan NU-Muhammadiyah dan bayang-bayang golput di pilkada

Pilkada di tengah pandemi merupakan pemaksaan hak politik.

Ketua PBNU Said Aqil saat preskonference soal krisis di Natuna di gedung PBNU, Jakarta, Senin (6/1/2020)/Foto Antara.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 di masa pendemi coronavirus disease 2019 (Covid-19) dinilai berada di bawah bayang-bayang golput atau mereka yang memutuskan tidak menggunakan hak pilihnya.

"Prof Azra (Azyumardi Azra) hanya salah satu contoh yang mengemukakan sikap golputnya secara terbuka. Yang lain banyak, tapi tak menampakkan," ujar Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno dihubungi Alinea.id, Selasa (22/9).

Sebelumnya, Azra yang juga cendikiawan muslim itu menyatakan golput pada Pilkada Serentak 2020 yang dihelat 9 Desember mendatang, via akun media sosialnya, kemarin. Keputusan itu diambil Azra sebagai bentuk solidaritas bagi mereka yang wafat karena Covid-19.

Potensi meningkatnya angka golput di pilkada mendatang, sambung Adi, bukan saja karena masukan dua ormas besar Islam (NU dan Muhammadiyah) yang memiliki basis massa jutaan 'dicuekin' pemerintah. Namun, jelas dia, karena masyarakat pada umumnya menganggap pilkada tak berdampak nyata terhadap kehidupan mereka secara langsung.

"Kepala daerah boleh berganti tapi hidup mereka tetap nestapa. Di tambah lagi pilkada di tengah pandemi kemungkinan besar angka golput meningkat pesat," ujarnya.