Di balik operasi 'blitzkrieg' mendongkel Suharso Monoarfa

Istana dinilai ikut turun tangan dalam proses pemakzulan Suharso dari kursi Ketum PPP.

Kolase foto eks Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa (kiri) dan Ketua Umum PPP Mardiono (kanan). Alinea.id/Aisya Kurnia

Semangat Masruhan Samsurie kembali meluap begitu "menyaksikan" kursi Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) beralih dari tangan Suharso Monoarfa ke tangan Muhammad Mardiono. Ketua DPW PPP Jawa Tengah ini merasa lengsernya Suharso bikin mesin politik partai berlambang ka'bah itu kembali bergairah. 

"Dengan Plt Ketum Muhammad Mardiono, PPP diharapkan banyak pihak bisa meningkatkan elektabilitas partai ka'bah dan mencapai target di atas 6% pada Pemilu 2024. Harapan ini cukup beralasan karena dengan pergantian Suharso ke Mardiono menumbuhkan sentimen positif, baik di kalangan internal PPP maupun masyarakat," kata Masruhan kepada Alinea.id, Selasa (13/9). 

Mardiono ditunjuk sebagai Plt Ketum PPP dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PPP di Serang, Banten, awal September lalu. Sebelumnya, Mardiono pernah menjabat sebagai Ketua DPW PPP Banten. Pada 2020, ia juga sempat maju menjadi salah satu calon Ketum PPP. 

Terpilihnya Mardiono, kata Masruhan, membawa harapan baru bagi para kader. Pada masa kepemimpinan Suharso, menurut dia, kader-kader PPP di daerah cenderung ogah berkeringat untuk mendongkrak elektabilitas PPP. Komunikasi yang buruk antara Suharso dan kader dituding sebagai salah satu penyebabnya. 

"Kalau ditanya kelemahan, tentu ada. Misalnya, komunikasi dengan pengurus di bawah kurang lancar. Dengan SK pengurus DPC dan DPW (ditentukan) oleh DPP tentu membuka banyak masalah karena ada juga benturan kepentingan bawah dan atas," kata Masruhan tanpa merinci lebih jauh.