Regenerasi kepemimpinan menjadi salah satu pesan yang disampaikan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I Partai Nasdem di Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (10/8) lalu. Surya menegaskan perlunya kader-kader muda tampil sebagai calon pemimpin masa depan demi menyongsong Pemilu 2029.
"Pembinaan kader adalah kewajiban. Pemilu 2029 akan menjadi panggung utama kaum muda Indonesia dan NasDem sudah menjadi magnet bagi mereka," kata Surya dalam pidato politiknya di hadapan ribuan kader NasDem.
Surya berkaca pada hasil Pilkada Serentak 2024. Menurut dia, banyak pemimpin muda keluar sebagai pemenang pilkada. "Sudah waktunya Partai NasDem turut memberikan jalan bagi generasi muda untuk lebih berperan aktif," kata dia.
Analis politik dari Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) Ahmad Chumaedy berpendapat regenerasi kepemimpinan di partai politik di Indonesia memang sudah mendesak. Namun, regenerasi tidak bisa hanya dimaknai sebatas pergantian tokoh dari yang berusia tua menjadi tokoh yang lebih muda.
Regenerasi pemimpin, kata dia, perlu dibarengi dengan pembaharuan ide, metode, dan kultur. Yang terjadi saat ini justru banyak partai yang masih terjebak pada pola pikir lama dengan hierarki yang kaku dan kampanye yang hanya berorentasi pada musim pemilu.
"Pemilih muda hari ini menginginkan keterbukaan, partisipasi, dan keberanian mengangkat isu-isu baru yang relevan dengan kehidupan mereka. Apakah perlu regulasi? Bisa jadi, iya, terutama dalam memastikan kaderisasi berjalan dan posisi strategis tidak terus-menerus dipegang oleh figur yang sama," kata pria yang akrab disapa Memed itu kepada Alinea.id, Selasa (12/8).
Karakteristik pemilih muda saat ini, menurut Memed, cenderung kritis dan mudah bosan dengan retorika lama. Para konstituen ingin melihat figur-figur pemimpin muda yang benar-benar hidup di dunia mereka dan paham dengan persoalan-persoalan yang mereka hadapi.
"Bukan sekadar tampil saat kampanye. Karena itu, regenerasi partai harus melahirkan pemimpin yang tidak hanya muda secara umur, tapi juga muda secara visi. Artinya, mereka punya sensitivitas pada isu lingkungan, kesetaraan, teknologi, ekonomi kreatif, dan kebebasan berekspresi isu-isu yang dekat dengan anak muda," kata Memed.
Memed menilai partai politik saat ini harus berani mengubah pendekatan mereka, yakni dari komunikasi satu arah menjadi lebih dialogis. Dengan begitu, kultur paternalistik luntur dan hubungan antara parpol dan konstituen menjadi lebih kolaboratif.
"Figur yang merepresentasikan anak muda bukan hanya sekadar pandai bicara, akan tetapi mau mendengar, mau turun langsung dan mau mengajak pemilih menjadi bagian dari proses politik. Kalau partai terus mempertahankan wajah lama dengan cara lama, mereka akan kehilangan relevansi," kata Memed.
Analis politik dari Universitas Brawijaya (Unibraw) George Towar Ikbal Tawakkal menilai regenerasi di partai politik muskil terjadi jika pendanaan partai disokong segelintir elite partai. Jika partai dipaksa untuk melakukan regenerasi dengan regulasi, risikonya partai akan sulit bergerak.
"Partai membutuhkan pendanaan yang besar untuk bergerak. Regenerasi sulit terjadi karena kesulitan menemukan kader muda yg mapan secara finansial untuk menggerakkan partai. Pemaksaan lewat regulasi, misal, pengurus partai harus berusia sekian, justru berpotensi membuat partai kesulitan bergerak," kata Ikbal kepada Alinea.id, Selasa (12/8).
Namun demikian, Ikbal tidak serta-merta setuju jika dana partai ditingkatkan oleh negara. Dia menekankan agar partai membuka donasi dari masyarakat sehingga hubungan partai dengan pemilih lebih "terukur".
"Selama partai masih membutuhkan dana internal untuk bergerak, ya, tidak mudah bagi kader muda untuk menempati posisi penting di partai. Idealnya, pendanaan partai bersumber dari donasi masyarakat," kata Ikbal.