Pemerintah berencana meningkatkan dana bantuan bagi partai politik. Untuk tingkat DPR RI, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengusulkan agar dana bantuan bagi parpol naik dari Rp1.000 per suara sah menjadi Rp3.000 per suara.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Studi Global Universitas Budi Luhur (UBL) Jakarta, Andrea Abdul Rahman Azzqy menyatakan bahwa kenaikan dana bantuan parpol secara prinsip dapat diterima asalkan proporsional dan berbasis kinerja.
Menurut Andrea, kenaikan sebesar 10–15% per tahun masih tergolong ideal jika mempertimbangkan inflasi dan kebutuhan parpol dalam beragama program kaderisasi. Batas aman alokasi di kisaran 0,02% hingga 0,03% dari total APBN.
“Tambahan dana memang bisa berdampak positif terhadap rekrutmen dan kaderisasi pemimpin politik, tetapi harus disertai mekanisme pengukuran output yang ketat. Tanpa standar kualitas dan evaluasi berkala, dana ini hanya akan menjadi kegiatan seremonial tanpa substansi,” ujar Andrea kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Ia juga menyoroti lemahnya sistem audit dana parpol saat ini. Menurutnya, audit independen hampir tidak pernah dilakukan secara rutin, dan hasilnya jarang dipublikasikan. Andrea menekankan pentingnya transparansi, pelibatan lembaga masyarakat sipil dalam verifikasi kegiatan, dan skema pencairan dana berbasis program dan capaian yang terukur.
“Kalau tidak ada transparansi, ini bukan lagi soal efisiensi anggaran, tapi soal potensi korupsi. Dana bantuan parpol bukan sekadar angka dalam APBN, ini investasi demokrasi. Tanpa akuntabilitas yang kuat, justru akan memperkuat elite politik, bukan demokrasi,” katanya.
Pandangan senada disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta. Menurut Kaka, negara memang berkewajiban mendanai parpol agar tidak bergantung pada sumber pendanaan tidak transparan.
Menurutnya, dua sumber ideal pendanaan parpol adalah dari negara dan dari iuran anggota. Namun, iuran anggota masih sulit diwujudkan secara signifikan. Karena itu, bantuan dari negara perlu diperkuat untuk memastikan parpol tak mencari uang haram lewat kader-kadernya di parlemen dan lembaga eksekutif.
“Dana bantuan parpol harus disertai prasyarat ketat seperti transparansi, akuntabilitas, dan pelaporan keuangan yang baik. Tidak cukup hanya berdasarkan suara di pemilu. Harus ada sistem kinerja yang dinilai secara komprehensif,” ujar Kaka.
Namun, Kaka menekankan pentingung ukuran proporsional kenaikan dana parpol. Dalam sebuah kajian pada tahun 2023, misalnya, menurut Kaka, idealnya dana yang diberikan adalah sekitar Rp20.000 per suara sah. Kenaikan dana parpol juga harus mempertimbangkan keseimbangan pembiayaan antara APBN dan APBD.
"Jika terlalu kecil, itu tidak cukup untuk menunjang kegiatan partai politik. Apalagi partai yang mengikuti pemilu harus memiliki kantor tetap, sekretariat, pengurus, dan jumlah anggota minimal sesuai persyaratan, yaitu sekitar satu per seribu dari jumlah penduduk. Pemeliharaan organisasi seperti ini tentu membutuhkan biaya besar," tuturnya.
Kaka juga mengusulkan adanya sistem informasi terpadu yang bisa diakses publik untuk melacak penggunaan dana bantuan. Sistem ini bisa dibangun bersama Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri, karena saat ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum memiliki slot khusus untuk itu.
Ia menekankan pentingnya pelaporan dana yang tidak bermasalah dan sanksi tegas bila terjadi pelanggaran. Selain itu, partai harus mengajukan rencana penggunaan dana terlebih dahulu agar jelas arah penggunaannya dan mudah dievaluasi bila terjadi penyimpangan.
“Dana ini bukan untuk elite partai saja, tetapi untuk membangun organisasi yang kuat dari pusat hingga daerah. Harus ada sertifikasi kader, pendataan anggota, dan sistem kaderisasi yang jelas,” imbuhnya.
Dana parpol diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Partai Politik.
Pada Pasal 1 ayat (2) beleid itu disebutkan dana parpol adalah bantuan keuangan yang bersumber dari APBN atau APBD yang diberikan secara proporsional kepada parpol yang mendapatkan kursi di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara.