Di balik topeng religius para koruptor

Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Nia Elvina memandang, fenomena mendadak religius para koruptor tersebut sebatas dramaturgi.

Tersangka kasus dugaan suap seleksi pengisian jabatan di Kemenag, Romahurmuziy (tengah) bersama tersangka pemilik PT Jasa Promix Nusantara dan PT Secilia Putri, Sibron Azis (kiri) berjalan untuk menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (22/3). /Antara Foto.

Menurut indeks persepsi korupsi yang dikeluarkan Transparency International (TI), korupsi di Indonesia pada 1995 merupakan yang terburuk di dunia. Namun, perlahan indeks korupsi itu membaik dan mengalami tren peningkatan pada rentang 2014 hingga 2018.

Berdasarkan data yang dikeluarkan TI pada 29 Januari 2019, nilai persepsi korupsi Indonesia tercatat dengan skor 34 pada 2014, dan mengalami peningkatan dengan skor 38 pada 2018. Indonesia berada di urutan 89 dari 180 negara yang disurvei pada 2018.

Laku alim koruptor

Hingga kini, perilaku korup sejumlah pejabat publik masih saja terjadi. Psikolog klinis forensik Kasandra Putranto mengatakan, setiap individu pasti memiliki profil psikologis yang khas, terutama terkait dengan keputusan mereka untuk melakukan tindak pidana korupsi.

“Terutama dengan adanya fakta bahwa di masa lalu korupsi dan nepotisme mencapai jumlah yang tinggi sampai dianggap biasa,” ujar Kasandra saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (2/4).

Akibat hal tersebut, Kasandra melihat, akhirnya yang tidak melakukan korupsi dianggap aneh karena tingginya indeks korupsi ini. Namun, lanjut Kasandra, dengan peningkatan penegakan hukum, maka berbagai kasus kasus korupsi sangat berpeluang untuk diusut tuntas.