sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Di balik topeng religius para koruptor

Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Nia Elvina memandang, fenomena mendadak religius para koruptor tersebut sebatas dramaturgi.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Selasa, 02 Apr 2019 20:35 WIB
Di balik topeng religius para koruptor

Menurut indeks persepsi korupsi yang dikeluarkan Transparency International (TI), korupsi di Indonesia pada 1995 merupakan yang terburuk di dunia. Namun, perlahan indeks korupsi itu membaik dan mengalami tren peningkatan pada rentang 2014 hingga 2018.

Berdasarkan data yang dikeluarkan TI pada 29 Januari 2019, nilai persepsi korupsi Indonesia tercatat dengan skor 34 pada 2014, dan mengalami peningkatan dengan skor 38 pada 2018. Indonesia berada di urutan 89 dari 180 negara yang disurvei pada 2018.

Laku alim koruptor

Hingga kini, perilaku korup sejumlah pejabat publik masih saja terjadi. Psikolog klinis forensik Kasandra Putranto mengatakan, setiap individu pasti memiliki profil psikologis yang khas, terutama terkait dengan keputusan mereka untuk melakukan tindak pidana korupsi.

“Terutama dengan adanya fakta bahwa di masa lalu korupsi dan nepotisme mencapai jumlah yang tinggi sampai dianggap biasa,” ujar Kasandra saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (2/4).

Akibat hal tersebut, Kasandra melihat, akhirnya yang tidak melakukan korupsi dianggap aneh karena tingginya indeks korupsi ini. Namun, lanjut Kasandra, dengan peningkatan penegakan hukum, maka berbagai kasus kasus korupsi sangat berpeluang untuk diusut tuntas.

Kasandra melanjutkan, reaksi para tersangka korupsi umumnya masih terjebak dalam keyakinan bahwa mereka melakukan hal yang biasa, yang selama ini tidak ketahuan.

Tak jarang, penampilan alim ditunjukkan para tersangka korupsi saat muncul di depan awak media. Misalnya, pada 2012 lalu Neneng Sri Wahyuni, istri mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin tampil mengenakan jilbab dan cadar saat menjalani pemeriksaan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta.

Neneng merupakan tersangka korupsi proyek pengadaan dan pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 2008.

Sponsored

Publik juga tentu masih ingat saat Najwa Shihab berkunjung ke lembaga pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung untuk menemui terpidana kasus korupsi KTP elektronik Setya Novanto dan tersangka kasus korupsi pembangunan wisma atlet Hambalang untuk SEA Games ke-26 Muhammad Nazaruddin pada Juli 2018.

Sorot kamera mendapati Novanto yang duduk tenang di kursi plastik, sembari memegang sebuah buku. Buku yang dipegang adalah fotokopian buku Kamus Kecil 80% Kosakata Al-Qur’an. Ia mengaku, hidupnya kini sudah tenang dan ikhlas. Selain membaca buku agama, Novanto mengatakan kerap melakukan aktivitas keagamaan dari pagi.

Buku agama yang dipegang Setya Novanto saat dijumpai Najwa Shihab di Lapas Sukamiskin, Bandung. /Youtube.com

“Yah biasa, pagi jam 3 bangun. Berdoa sampai subuh,” kata Novanto kepada Najwa kala itu.

Tetangga di dalam lapas yang dihuni Novanto, yakni Muhammad Nazaruddin, saat disambangi Najwa menunjukkan dirinya selesai salat dan mengaji. Ia mengenakan jubah putih, dan sedang sibuk merapikan sajadah.

Buku bertema keagamaan pun dipegang mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhammad Romahurmuziy alias Romi saat menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka kasus suap jual beli jabatan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (22/3).

Ia memegang buku Sejarah Kenabian dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah karya Aksin Wijaya untuk menutupi borgol.

Dramaturgi koruptor

Kasandra Putranto mengatakan, tersangka korupsi kerap melibatkan atribut-atribut religius untuk menimbulkan kesan bila mereka tak melakukan atau tak terlibat korupsi.

“Pencitraan gitu deh,” kata psikolog yang berpraktik di Kassandra & Associates, Jakarta Selatan ini.

Sementara itu, sosiolog Universitas Nasional (Unas) Nia Elvina memandang, fenomena mendadak religius para koruptor tersebut sebatas dramaturgi. Menurutnya, ketika tampil di depan publik, penampilan dengan simbol keagamaan bertujuan menarik simpati masyarakat.

“Atau dengan kata lain berdramaturgi bahwa mereka adalah orang yang percaya Tuhan, sehingga tidak mungkin melakukan tindakan korupsi,” ujar Nia ketika dihubungi, Selasa (2/4).

Dramaturgi merupakan istilah yang dikenalkan oleh sosiolog Erving Goffman pada 1959 di dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life. Goffman mengenalkan istilah front stage untuk tampilan depan atau publik, dan back stage untuk tampilan belakang pada konsep dramaturgi tersebut.

Nia melanjutkan, tampilan depan di ranah publik harus bisa meyakinkan masyarakat bila koruptor tidak melakukan atau menutupi tindakan mereka yang melanggar norma.

“Atau paling tidak mereka ingin meminimalisir hukuman dari masyarakat, ingin menunjukkan bahwa sebenarnya mereka sudah insaf karena telah melakukan tindakan khilaf, melupakan amanah atau korupsi,” katanya.

Menurut Nia, yang paling mudah dilakukan untuk menarik simpati publik memang dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan, terutama Islam. Sebab, mayoritas orang Indonesia memeluk agama Islam.

Nia pun melihat dramaturgi tersebut selama ini berjalan efektif untuk menarik simpati masyarakat.

“Kecenderungannya efektif, minimal masyarakat akan menilai mereka sudah ingat kembali kepada Tuhan,” ujarnya.

Muhammad Nazaruddin saat ditemui Najwa Shihab di Lapas Sukamiskin. /Youtube.com

Teknik netralisasi

Di sisi lain, kriminolog Universitas Indonesia (UI) Iqrak Sulhin memandang, upaya netralisasi koruptor dengan tampil alim tersebut, tidak akan pernah efektif. Berbeda dengan pendapat Nia, Iqrak menuturkan, dengan penampilan alim itu justru mengundang kejengkelan publik, karena terlihat sebagai penyangkalan.

“Kita sama-sama tahu, penegak hukum ketika menetapkan tersangka tentu disertai bukti yang kuat. Apalagi operasi tangkap tangan,” kata Iqrak ketika dihubungi, Selasa (2/4).

Iqrak melihat, upaya koruptor mendadak religius merupakan bentuk manajemen impresi dari tersangka. Hal tersebut, lanjut Iqrak, dilakukan untuk menenangkan kondisi tersangka yang sedang bermasalah, dan menetralisasi stigma masyarakat.

“Biasanya ini disertai dengan penyangkalan bahwa dia telah melakukan kejahatan,” ujar Iqrak.

Secara kriminologis, kata Iqrak, ada sebuah konsep bernama teknik netralisasi. Konsep tersebut, lanjut Iqrak, menjelaskan bagaimana pelaku kejahatan sering berusaha menyangkal kalau dirinya sudah melakukan kejahatan, menyebabkan korban, atau kerugian.

Dalam beberapa kesempatan, koruptor kerap menampilkan wajah religiusnya di depan publik.

“Netralisasi yang tidak dilakukan secara verbal dapat dilakukan secara simbolik, dalam bentuk berpakaian atau bersikap lebih religius,” tutur Iqrak.

Ia menyebut, teknik ini banyak dilakukan koruptor yang termasuk golongan penjahat kerah putih karena mereka memiliki modal sosial.

“Karena status sosial yang tinggi, media akan cenderung memberikan perhatian, sehingga ini dapat dimanfaatkan untuk manajemen impresi tadi,” kata Iqrak.

Berita Lainnya
×
tekid