Muslihat tambah kursi pimpinan MPR demi kekuasaan

Tidak efisien, menghabiskan anggaran, hasrat kekuasan dan hanya sebagai kompromi transaksional antar fraksi.

Mendagri Tjahjo Kumolo (kanan) berjabat tangan dengan Wakil Ketua DPR selaku Pimpinan Sidang Fahri Hamzah (kiri) usai menyampaikan pandangan akhir pemerintah terhadap RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/9/2019)./Antara Foto

Jumlah kursi MPR akhirnya bertambah dari lima menjadi sepuluh setelah DPR menyetujui perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Penambahan itu diputuskan dalam rapat pripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/9) kemarin.

Wakil Ketua Baleg DPR Totok Daryanto dalam laporannya mengatakan, pengaturan mengenai pimpinan MPR berguna untuk mewujudkan lembaga yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi.

Namun Peneliti senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formmapi) Lucius Karus justru menilai pengesahan UU MD3 justru menjadi preseden buruk bagi demokrasi. Alih-alih menguatkan kelembagaan, penambahan jumlah kursi MPR hanyalah bentuk politik transaksional untuk mengakomodasi kepentingan DPR di Senayan.

"Cita-cita penguatan kelembagaan menjadi sirna ketika dengan sesuka hati DPR utak-atik aturan UU yang ada. Unsur kepastian hukum dengan adanya regulasi yang berkualitas dan berlaku cukup lama tak bisa dibangun," ujar Lucius saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Selasa (17/9).

Menurut Lucius, penambahan kursi MPR sangat tidak efisien dan menghabiskan anggaran semata. Alasan DPR menambahan kursi MPR demi semangat kebangsaan hanya manipulasi politik.