Belajar dari kasus Jiwasraya-ASABRI, pemerintah perlu benahi tata kelola BUMN

Jangan sampai penunjukan Direksi dan Komisaris BUMN karena balas budi.

Seorang warga melintas di depan kantor Asuransi Jiwasraya di Jalan Juanda, Jakarta, Rabu (11/12/2019)/Foto Antara/Galih Pradipta.

Pemerintah diminta untuk benahi tata kelola perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pasca-munculnya kasus dugaan skandal megakorupsi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asabri (Persero). Adanya kasus dugaan rasuah di perusahaan asuransi pelat merah itu mencerminkan tata kelola perusahaan BUMN penuh persoalan.

"Terus bermunculannya kasus yang menimpa perusahaan BUMN menandakan bahwa pengelolaan BUMN masih sangat perlu diperbaiki lagi. Dan ini menjadi PR besar Pemerintah untuk dapat memperbaiki tata kelola BUMN, agar kedepannya BUMN yang ada dapat memberikan kontribusi bagi negara dan juga rakyat Indonesia," kata anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina, dalam keterangnnya, Rabu (17/2).

Nevi melanjutkan, kontribusi perusahaan BUMN untuk memberikan deviden ke negara masih terbilang minim. Padahal, kata dia, ada 142 perusahaan BUMN dan sekitar 800 anak perusahaan di bawah naungan BUMN yang tercatat hingga akhir tahun 2019.

"Menurut data yang dipublikasikan oleh Laporan Keuangan pemerintah Pusat (LKPP) pada tahun 2018 total penerimaan pemerintah dari pembayaran deviden BUMN hanya sebesar Rp45,06 triliun, dan itu sekitar Rp38,74 triliun atau setara dengan 85,97% dari total dividen yang diterima pemerintah ternyata hanya berasal dari 10 BUMN saja," paparnya.

Politikus PKS ini menilai perlu ada pembenahan tata kelola perusahaan BUMN perlu diawali dengan merombak jajaran direksi dan komisaris. Sebab, lanjutnya, terdapat contoh dalam kasus dugaan korupsi di tubuh ASABRI yang bermuara dari kesepakatan manajemen dengan Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat untuk mengatur dan mengendalikan portofolio investasi ASABRI dalam bentuk saham dan reksa dana.