Kemunculan calon tunggal di Pilkada Serentak penting dievaluasi

"Jelas itu tidak sehat,  karena jika dalam demokrasi tak ada kompetisi itu namanya bukan demokrasi."

Diskusi "Evaluasi Pilkada Serentak 2018" yang diselenggarakan di Hotel Altet Century, Senayan, Jakarta, Senin,(7/6). (Kudus Purnomo/Alinea)

Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) menyatakan keberadaan calon tunggal di Pilkada Serentak 2018 menjadi hal penting untuk dievaluasi. Dewan Pengawas AIPI sekaligus Peneliti LIPI, Syamsudin Haris, mengatakan munculnya fenomena calon tunggal dalam Pilkada bukanlah hal yang sehat untuk demokrasi.

"Jelas itu tidak sehat, karena jika dalam demokrasi tak ada kompetisi, itu namanya bukan demokrasi," katanya dalam diskusi bertajuk Evaluasi Pilkada Serentak 2018 di Hotel Altet Century, Senayan, Jakarta, Senin,(7/6).

Syamsudin juga mengusulkan adanya batas maksimum dan minimum koalisi pengusung. Agar tak hanya dikuasai satu pihak yang memicu munculnya calon tunggal, dia menyebut batas maksimum koalisi 60%.

Ketua Umum AIPI sekaligus Komisioner Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Alfitra Salam mengatakan, terjadinya fenomena calon tunggal tidak terlepas dari kurangnya dukungan partai terhadap calon perseorangan. Hal ini menyebabkan kontestasi politik daerah tidak berjalan semestinya.

Menurutnya, perlu ada perubahan regulasi yang lebih memudahkan Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk maju dalam perhelatan Pilkada, untuk menghindari calon tunggal kembali terjadi. Alfitra mengatakan, Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki banyak personel yang berpotensi untuk menjadi pemimpin di daerah-daerah masing-masing.