sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kemunculan calon tunggal di Pilkada Serentak penting dievaluasi

"Jelas itu tidak sehat,  karena jika dalam demokrasi tak ada kompetisi itu namanya bukan demokrasi."

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Selasa, 03 Jul 2018 12:46 WIB
Kemunculan calon tunggal di Pilkada Serentak penting dievaluasi

Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) menyatakan keberadaan calon tunggal di Pilkada Serentak 2018 menjadi hal penting untuk dievaluasi. Dewan Pengawas AIPI sekaligus Peneliti LIPI, Syamsudin Haris, mengatakan munculnya fenomena calon tunggal dalam Pilkada bukanlah hal yang sehat untuk demokrasi.

"Jelas itu tidak sehat, karena jika dalam demokrasi tak ada kompetisi, itu namanya bukan demokrasi," katanya dalam diskusi bertajuk Evaluasi Pilkada Serentak 2018 di Hotel Altet Century, Senayan, Jakarta, Senin,(7/6).

Syamsudin juga mengusulkan adanya batas maksimum dan minimum koalisi pengusung. Agar tak hanya dikuasai satu pihak yang memicu munculnya calon tunggal, dia menyebut batas maksimum koalisi 60%.

Ketua Umum AIPI sekaligus Komisioner Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Alfitra Salam mengatakan, terjadinya fenomena calon tunggal tidak terlepas dari kurangnya dukungan partai terhadap calon perseorangan. Hal ini menyebabkan kontestasi politik daerah tidak berjalan semestinya.

Menurutnya, perlu ada perubahan regulasi yang lebih memudahkan Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk maju dalam perhelatan Pilkada, untuk menghindari calon tunggal kembali terjadi. Alfitra mengatakan, Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki banyak personel yang berpotensi untuk menjadi pemimpin di daerah-daerah masing-masing.

"Kepala daerah itu sumbernya banyak di Pemda, tapi daerah itu dipersulit karena UU ASN. Usul saya ASN itu harusnya dipermudah supaya dia (ASN) juga bisa ikut, usul saya UU ASN harus dikaji kembali," paparnya. 

Tak hanya ihwal calon tunggal, AIPI juga menyoroti persoalan lain di Pilkada Serentak 2018. Seperti kurangnya sosialisasi KPU kepada masyarakat, masih adanya money politic, lemahnya kaderisasi partai dalam memunculkan kader terbaik, dan tidak sesuainya calon yang diusung partai dengan kebutuhan yang diinginkan masyarakat.

Terkait ketidaksesuaian kandidat yang diusung, Alfitra menilai disebabkan karena dorongan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai pengusung. Padahal, yang lebih mengerti kebutuhan adalah Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC).

Sponsored

"Saya usul makanya kalau untuk Bupati serahkan sama DPD dan DPC, kalau Gubernur baru DPP, karena kalau tidak, nanti tidak sesuai apa yang diingkan partai sama masyarakat," ujar Alfitra.

Kendati demikian,  Pilkada serentak 2018 ini juga dianggap telah membawa hal yang positif. Seperti halnya yang dikatakan oleh peneliti Center for Strategic and Internasional Studies (CSIS) Philip J Vermonte, yang menyatakan pemilih di Indonesia makin rasional. Hal ini tampak pada sejumlah daerah yang memilih calon berdasarkan kebutuhan dan kinerja dari pasangan calon yang dipilihnya.

"Contohnya Ridwan Kamil yang seorang teknokrat, Khofifah yang sering ada program untuk pesantren, maka para kyai lebih pro ke Khofifah. Ini menunjukan mereka melihat dari kebutuhan daerahnya, nah ini nantinya bisa menggerus politik dinasti, jadi semua nanti berbasis kinerja yang berorientasi pada pelayanan publik,  saya rasa ini hal yang baik dan patut dijaga," pungkasnya.

Berita Lainnya
×
tekid