Kata Refly Harun ketika MPR dan kelompok tertentu ingin 'menginstal' PPHN

Wacana amandemen UUD 1945 yang bertujuan agar MPR tetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara tuai kritik.

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun/Foto facebook.

Pakar hukum tata negara, Refly Harun mengkritisi wacana amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang bertujuan agar Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Menurut Refly, fungsi PPHN bisa digantikan undang-undang tanpa harus mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

Refly beralasan, paradigma bernegara Indonesia sudah berubah, yakni dari paradigma MPR sebagai lembaga tertinggi menjadi paradigma check and balances. Di mana antarcabang kekuasaan itu sederajat, dan mereka diikat oleh saling prinsip, saling mengimbangi dalam satu ketatanegaraan baru.

"Jadi, bukan lagi sekedar distribusi kekuasaan tapi pembagian kekuasaan. Karena itulah kemudian ketika MPR dan kelompok-kelompok tertentu ingin menginstal PPHN itu menjadi sangat-sangat problematik," kata Refly dalam Forum Diskusi Denpasar 12 bertema "Urgensi Amandemen UUD 1945 di Masa Pandemi", Rabu (1/9).

Refly kemudian menjelaskan persoalan bila MPR diberikan wewenang untuk menetapkan PPHN, misalnya terkait mekanisme penegakan (enforcing mechanism) apabila presiden atau lembaga-lembaga negara tidak menjalankan PPHN.

"Kalau dulu GBHN tidak melaksanakan dan melanggar haluan-haluan negara, maka kemudian terjadi adalah akan ada memorandum 1-3 dan akan ada sidang istimewa yang memberhentikan presiden. Tetapi sekarang proses pemberhentian presiden tidak bisa lagi sembarangan, sebagaimana subjektivitas MPR di masa lalu. Karena melibatkan, tidak hanya forum politik tapi forum di Mahkamah Konstitusi," jelas Refly.